EVALUASI DAN PRESTASI BELAJAR
1.1 Latar Belakang
Peran sekolah dan guru-guru yang pokok adalah
menyediakan dan memberikan fasilitas untuk memudahkan dan melancarkan cara
belajar siswa. Guru harus dapat membangkitkan kegiatan-kegiatan yang membantu
siswa meningkatkan cara dan hasil belajarnya. Namun, disamping itu kadang-kadang
guru merasa bahwa evaluasi itu merupakan sesuatu yang bertentangan dengan
pengajaran. Hal ini timbul karena sering kali terlihat bahwa adanya
kegiatan evaluasi justru melakukan dan menurunkan gairah belajar pada siswa.
Jadi, seolah-olah kegiatan evaluasi bertentangan dengan kegiatan pengajaran.
Pendapat yang demikian itu pada hakikatnya tidak
benar. Memang, evaluasi yang dilakukan secara tidak benar dapat mematikan
semangat siswa dalam belajar. Sebaliknya, evaluasi yang dilakukan dengan baik
dan benar seharusnya dapat meningkatkan mutu dan hasil belajar karena kegiatan
evaluasi itu membantu guru untuk memperbaiki cara mengajar dan membantu siswa
dalam meningkatkan cara belajarnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa evaluasi tidak
dapat dilepaskan dari pengajaran.
Evaluasi selalu memegang peranan penting dalam segala
bentuk pengajaran yang efektif. Dengan evaluasi diperoleh balikan atau feedback
yang dipakai untuk memperbaiki dan merevisi bahan atau metode pengajaran atau untuk
menyesuaikan bahan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Evaluasi berguna untuk
mengetahui hingga manakah siswa telah mencapai tujuan pelajaran yang telah
ditentukan.[1]
2.1 Rumusan Masalah
- Apa
pengertian dari evaluasi dan bagaimana hubungannya dengan pengukuran?
- Apakah
tujuan dan fungsi evaluasi dalam pembelajaran?
- Apa sajakah
jenis dan teknik evaluasi?
- Bagaimana
reliabilitas dan validitas sebagai syarat alat evaluasi?
- Bagaimana
strategi evaluasi ranah psikologi kognitif, afektif dan psikomotorik?
- Apa sajakah
indikator-indikator prestasi belajar kognitif, afektif dan psikomotorik?
3.1 Tujuan
- Mengetahui
pengertian dari evaluasi dan bagaimana hubungannya dengan pengukuran.
- Mengetahui
tujuan dan fungsi evaluasi dalam pembelajaran.
- Mengetahui
jenis dan teknik evaluasi.
- Memahami
reliabilitas dan validitas sebagai syarat alat evaluasi.
- Mengetahui
strategi evaluasi ranah psikologi kognitif, afektif dan psikomotorik.
- Memahami
indikator-indikator prestasi belajar kognitif, afektif dan psikomotorik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Evaluasi dan Hubungan Dengan Pengukuran
Istilah evaluasi sering dikacaukan dengan pengukuran.
Keduanya memang ada kaitan yang erat, tetapi sebenarnya mengandung titik beda.
Menurut Sumadi Suryabrata, pengertian pengukuran mencakup segala cara untuk
memperoleh informasi yang dapat dikuatifikasikan, baik dengan tes maupun dengan
cara-cara lain. Sedangkan pengertian evaluasi menekankan penggunaan informasi
yang diperoleh dengan pengukuran maupun dengan cara lain untuk menentukan
pendapat dan membuat keputusan-keputusan pendidikan.[2]
Kaitan antara evaluasi dan pengukuran, di jelaskan
oleh Nasrun Harahap, dkk, sebagai berikut:
Pengukuran dan evaluasi mempunyai hubungan yang erat.
Evaluasi memberikan petunjuk pada bidang-bidang mana diperlukan me-asurement
(pengukuran), sebaliknya evaluasi tidak mungkin dilakukan tanpa pengukuran.
Pengukuran dilakukan atas keterampilan, kesanggupan dan achievement tiap
individu atau kelompok.Apa yang menjadi obyek evaluasi? Evaluasi yang sempurna
tidak hanya berobyekkan pada aspek kecerdasan, akan tetapi mencakup seluruh
pribadi anak dalam seluruh situasi pendidikan yang dialaminya.Adapun
aspek-aspek kepribadian yang harus diperhatikan dan merupakan obyek di dalam
pelaksanaan evaluasi tersebut, menurut Nasrun Harahap, dkk adalah:
- Aspek-aspek
tentang berpikir, meliputi: intelegensi, ingatan, cara menginterprestasi
data, pokok-pokok pengerjaan, pemikiran yang logis dan lain-lain.
- Dari segi
perasaan sosialnya, meliputi: kerjasama dengan kawan sekelasnya, cara
bergaul, cara pemecahan masalah serta nilai-nilai social, cara mengatasi
dan menghadapi serta cara berpartisipasi dalam kehidupan social.
- Dari
kekayaan social dan kewarganegaraan meliputi: pandangan hidup atau
pendapatnya terhadap masalah-masalah social, politik dan ekonomi. [3]
B.
Tujuan dan Fungsi Evaluasi Dalam Pembelajaran
a) Tujuan Evaluasi
Tujuan evaluasi dapat dilihat dari dua segi, tujuan
umum dan tujuan khusus. L. Pasaribu dan Simanjuntak, menegaskan bahwa:
- Tujuan umum
dari evaluasi adalah:
Ø Mengumpulkan
data-data yang membuktikan taraf kemajuan murid dalam mencapai tujuan
yang diharapkan.
Ø Memungkinkan
pendidik/guru menilai aktivitas/pengalaman yang didapat.
Ø Menilai metode
mengajar yang dipergunakan.
2. Tujuan khusus
dari evaluasi adalah:
Ø Merangsang
kegiatan siswa.
Ø Menemukan
sebab-sebab kemajuan atau kegagalan.
Ø Memberikan
bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan bakat siswa yang
bersangkutan.
Ø Memperoleh bahan
laporan tentang perkembangan siswa yang diperlakukan orang tua dan lembaga
pendidikan,
Ø Memperbaiki mutu
pelajaran/cara belajar dan metode mengajar.[4]
b) Fungsi Evaluasi
Dalam kaitannya dengan kegiatan belajar-mengajar,
evaluasi mempunyai fungsi yang amat penting, yaitu berikut ini:
- Untuk
memberikan umpan balik (feedback) kepada guru sebagai dasar untuk
memperbaiki proses belajar-mengajar, serta mengadakan perbaikan program
bagi murid.
- Untuk
memberikan angka yang tepat tentang kemajuan atau hasil belajar dari
setiap murid. Antara lain digunakan dalam rangka pemberian laporan
kemajuan belajar murid kepada orang tua, penentuan kenaikan kelas serta
penemuan lulus tidaknya seorang murid.
- Untuk
menentukan murid di dalam situasi belajar mengajar yang tepat, sesuai
dengan tingkat kemampuan (dan karakteristik lainnya) yang dimiliki oleh
murid.
- Untuk
mengenal latar belakang (psikologi fisik dan lingkungan) murid yang
mengalami kesulitan belajar, nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar
dalam pemecahan ksulitan-kesulitan belajar yang timbul.[5]
C.
Jenis dan Teknik Evaluasi
a) Jenis Evaluasi
Evaluasi dibagi menjadi 4 yaitu:
1.
Evaluasi Formatif, yaitu penilaian yang dilakukan pada
setiap akhir satuan pelajaran.[6]
- Fungsi:
untuk memperbaiki proses belajar mengajar ke arah yang lebih baik, atau
memperbaiki program satuan pelajaran yang telah digunakan.
- Tujuan:
untuk mengetahui hingga dimana penguasaan murid tentang bahan yang telah
diajarkan dalam suatu program satuan pelajaran.
- Aspek-aspek
yang dinilai: yang berkenaan dengan hasil kemajuan belajar murid,
meliputi: pengetahuan, ketrampilan, sikap dan penguasaan terhadap bahan
pelajaran yang telah disajikan.
- Waktu
pelaksanaan: setiap akhir pelaksanaaan satuan program belajar mengajar.[7]
2.
Evaluasi Sumatif, yakni penialaian yang dilakukan tiap
caturwulan atau semester (setelah siswa menyelesaikan suatu unit atau bagian
dari mata pelajaran tertentu).
- Fungsi:
untuk menentukan angka/nilai murid setelah mengikuti program pengajaran
dalam satu caturwulan, semester, akhir tahun atau akhir dari suatu program
bahan pengajaran dari satu unit pendidikan. Di samping itu untuk
memperbaiki situasi proses belajar mengajar kea rah yang lebih baik serta
untuk kepentingan penilaian selanjutnya.
- Tujuan:
untuk mengetahui taraf hasil belajar yang dicapai oleh murid setelah
menyelesaikan program bahan pengajaran dalam satu catur wulan, semester,
akhir tahun atau akhir suatu program bahan pengajaran pada suatu unit
pendidikan tertentu.
- Aspek-aspek
yang dinilai: kemajuan belajar, meliputi: pengetahuan, ketrampilan, sikap
dan penguasaan murid tentang materi pelajaran yang sudah diberikan.
- Waktu
pelaksanaan: akhir catur wulan, semester atau akhir tahun.
3.
Evaluasi Placement (Penempatan)
- Fungsi:
untuk mengetahui keadaan anak termasuk keadaan seluruh pribadinya, agar
anak tersebut dapat ditempatkan pada posisinya yang tepat.
- Tujuan:
untuk menempatkan anak didik pada kedudukan yang sebenarnya, berdasarkan
bakat, minat, kemampuan, kesanggupan serta keadaan-keadaan lainnya,
sehingga anak tidak mengalami hambatan dalam mengikuti setiap
program/bahan yang disajikan guru.
- Aspek-aspek
yang dinilai: meliputi;keadaan fisik, psikis, bakat,
kemampuan/pengetahuan, ketrampilan, sikap dan lain-lain.
- Waktu
pelaksanaan: penilaian ini sebaiknya dilakukan sebelum anak mengikuti
proses belajar mengajar yang permulaan. Atau anak tersebut baru akan
mebgikuti pendidikan di suatu tingkat tertentu.[8]
4.
Evaluasi Diagnostik, yakni penilaian yang digunakan
untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa sehingga berdasarkan
kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilakukan pemberian perlakuan yang tepat.[9]
- Fungsi:
untuk mengetahui masalah-masalah apa yang diderita atau yang mengganggu
anak didik, sehingga ia mengalami kesulitan, hambatan/gangguan ketika
mengikuti program tertentu.
- Tujuan:
untuk mengatasi/membantu memecahkan kesulitan atau hambatan yang dialami
anak didik waktu mengikuti kegiatan belajar-mengajar pada suatu bidang
studi atau keseluruhan program pengajaran.
- Aspek-aspek
yang dinilai: hasil belajar, latar belakang kehidupan anak, keadaan
keluarga, lingkungan dan lain-lain.
- Waktu
pelaksanaan: dapat dilaksanakan setiap saat sesuai dengan kebutuhan.[10]
b) Teknik Evaluasi
Dalam pelaksanaaannya, evaluasi dapat ditempuh melalui
dua cara yaitu: teknik tes dan non tes.
1.
Teknik Tes, digunakan untuk menilai kemampuan siswa
yang mencakup aspek pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan bakat.[11]
Teknik tes dapat berbentuk :
Ø Tes tertulis.
Ø Tes lisan.
Ø Tes perbuatan.
2.
Teknik non tes, digunakan untuk menilai sikap, minat,
dan kepribadian siswa.
Teknik non tes dapat berbentuk:
Ø Wawancara
(interview).
Ø Angket.
Ø Observasi
(Pengamatan).
Ø Kuesioner atau
inventory.
D.
Reliabilitas
dan Validitas Sebagai Syarat Alat Evaluasi
a) Syarat Alat
Evaluasi
Langkah pertama yang perlu ditempuh guru dalam menilai
prestasi belajar siswa adalah menyusun alat evaluasi (test instrument) yang
sesuai dengan kebutuhan, dalam arti tidak menyimpang dari indikator dan jenis
prestasi yang diharapkan.
Persyaratan pokok penyusunan alat evaluasi yang baik
dalam perspektif psikologi belajar (The psychology of learning) meliputi
dua macam, yakni: 1) reliabilitas; 2) validitas. [12]
1. Reliabilitas
(Keandalan)
Kata reliabilitas dalam bahasa Indonesia
diambil dari kata reliability dalam bahasa Inggris, berasal dari kata
asal reliable yang artinya dapat dipercaya.[13]
Telah diterangkan bahwa reliabilitas berhubungan
dengan masalah kepercayaan. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf
kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap.
Maka pengertian reliabilitas tes, berhubungan dengan masalah ketetapan hasil
tes. Atau seandainya hasilnya berubah-ubah, perubahan yang terjadi dapat
dikatakan tidak berarti.
2. Validitas
Pada prinsipnya, validitas (validity) berarti
keabsahan atau kebenaran. Validitas merupakan syarat yang terpenting dalam
suatu alat evaluasi. Suatu alat evaluasi dikatakan mempunyai validitas
yang tinggi (disebut valid) jika teknik evaluasi atau tes itu dapat mengukur
apa yang sebenarnya akan diukur.[14]
Contohnya, apabila sebuah alat evaluasi bertujuan
mengukur prestasi belajar matematika, maka item-item (butir-butir soal) dalam
alat lain itu hendaknya hanya direkayasa untuk mengukur kemampuan matematis
para siswa. Kemampuan-kemampuan lainnya yang tidak relevan, seperti kemampuan
dalam bidang bahasa, IPS, dan sebagainya tidak perlu dikur oleh instrument
evaluasi matematika tersebut.[15]
E.
Strategi Evaluasi Ranah Psikologis Kognitif, Afektif,
dan Psikomotorik
1)
Strategi Evaluasi Ranah Kognitif
Mengukur keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif
dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis maupun tes lisan
dan perbuatan. Karena semakin membengkaknya jumlah siswa disekolah-sekolah, tes
lisan dan perbuatan saat ini semakin jarang digunakan. Alasan lain mengapa tes
lisan khususnya kurang mendapat perhatian ialah karena pelaksanaannya yang face
to face (berhadapan langsung). Cara ini, konon dapat mendorong penguji
untuk bersikap kurang fair terhadap yang diuji.[16]
Dampak negatif yang terkadang muncul dalam tes yang face
to face itu ialah sikap dan perlakuan penguji yang subjektif dan kurang
adil, sehingga soal yang diajukan pun tingkat kesukarannya berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Di satu pihak ada siswa yang diberi soal yang mudah dan
terarah (sesuai dengan topik) sedangkan di pihak lain ada pula siswa yang
ditanyai masalah yang sukar bahkan terkadang tidak relevan dengan topik.
Untuk mengatasi masalah subjektivitas itu, semua jenis
tes tertulis baik yang berbentuk subjektif maupun yang berbentuk objektif
(kecuali tes B-S) seharusnya dipakai sebaik-baiknya oleh para guru. Namun
demikian, apabila anda menghendaki informasi yang lebih akurat mengenai
kemampuan kognitif siswa, selain tes B-S, tes pilihan berganda juga sebaiknya
tidak digunakan. Sebagai gantinya, anda sangat dianjurkan untuk menggunakan tes
mencocokkan (matching test),tes isian dan tes esai. Khusus untuk
mengukur kemampuan analisis dan sintesis siswa, lebih dianjurkan untuk
menggunakan tes esai, karena tes ini adalah ragam instrumen evaluasi yang
dipandang paling tepat untuk mengevaluasi dua jenis kemampuan akal siswa
tadi.
2)
Strategi Evaluasi Ranah Afektif
Dalam merencanakan penyusunan instrumen tes siswa yang
termasuk dalam ranah afektif , jenis-jenis prestasi internalisasi dan
karakterisasi seharusnya mendapat perhatian khusus. Karena kedua jenis prestasi
ini yang lebih banyak mengendalikan sikap dan perbuatan siswa.
Salah satu bentuk tes ranah afektif yang populer
adalah “ Skala Likert” (Likert Scale) yang tujuannya untuk
mengidentifikasi kecenderungan/sikap orang (Reber, 1988: 76). Bentuk skala ini
menampung pendapat yang mencerminkan sikap “ sangat setuju, setuju, ragu-ragu,
tidak setuju dan sangat tidak setuju. ”Rentang skala ini diberi skor 1 sampai 5
atau 1 sampai 7 bergantung pada kebutuhan dengan catatan skor-skor itu dapat
mencerminkan sikap-sikap mulai sangat “ya” sampai sangat “tidak”. Perlu pula
dicatat, untuk memudahkan identifikasi jenis kecenderungan afektif siswa yang
representatif , item-item skala sikap sebaiknya dilengkapi dengan label/identitas
sikap yang meliputi : 1) doktrin, yakni pendirian; 2) komitmen,yakni ikrar
setia untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan; 3) penghayatan,yakni
pengalaman batin; 4) wawasan, yakni pandangan atau cara memandang sesuatu.[17]
Selanjutnya, tugas siswa yang sedang dievaluasi (testee)
adalah memilih alternatif sikap yang sesuai dengan keadaan dirinya sendiri.
Kemudian, sikap itu dinyatakan dengan cara memberi tanda cek (ü) pada ruang
bernomor yang sesuai dengan kecenderungan sikapnya. Cara penyelesaian evaluasi
sikap dengan membubuhkan tanda cek seperti itu berlaku baikuntuk skala likert
maupun skala diferensial semantik.
Hal lain yang perlu diingat seorang guru yang hendak
menggunakan skala sikap ialah bahwa dalam evaluasi ranah afektif yang dicari
bukan benar dan salah, melainkan sikap atau kecenderungan setuju atau tidak
setuju. Jadi, tidak sama dengan evaluasi ranah kognitif yang secara prinsipil
bertujuan mengungkapkan kemampuan akal dengan batasan salah dan benar.
Bagaimana cara mengetahui hasil prestasi ranah afektif
yang diukur dengan skala-skala sikap diatas? Untuk menjawab pertanyaan ini,
maka seorang guru dianjurkan untuk mempelajari buku-buku khusus mengenai
statistik pendidikan. Dari buku ini dapat diketahui cara mengolah, menganalisis
dan menafsirkan serta menyimpulkan data hasil evaluasi ranah afektif seorang
siswa.
3)
Strategi Evaluasi Ranah Psikomotorik
Cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi
keberhasilan belajar yang berdimensi ranah psikomotor adalah melalui observasi.
Observasi, dalam hal ini dapat diartikan sebagai tes yang menjelaskan
peristiwa, tingkah laku atau fenomena lain dengan pengamatan langsung. Namun
observasi harus dibedakan dari eksperimen karena eksperimen pada umumnya
dipandang sebagai salah satu cara observasi.[18]
F.
Indikator-Indikator Prestasi Belajar Kognitif,
Afektif, dan Psikomotorik
1)
Definisi Prestasi Belajar
Istilah prestasi belajar terdiri dari dua suku kata,
yaitu prestasi dan belajar. Istilah prestasi di dalam Kamus Ilmiah Populer (Adi
Satrio, 2005: 467) didefinisikan sebagai hasil yang telah dicapai. Noehi
Nasution (1998: 4) menyimpulkan bahwa belajar dalam arti luas dapat diartikan
sebagai suatu proses yang memungkinkan timbulnya atau berubahnya suatu tingkah
laku sebagai hasil dari terbentuknya respon utama, dengan syarat bahwa
perubahan atau munculnya tingkah baru itu bukan disebabkan oleh adanya kematangan
atau oleh adanya perubahan sementara karena sesuatu hal.
Adapun yang dimaksud dengan prestasi belajar atau
hasil belajar menurut Muhibbin Syah, sebagaimana yang dikutip oleh Abu Muhammad
Ibnu Abdullah (2008) adalah “taraf keberhasilan murid atau santri dalam
mempelajari materi pelajaran di sekolah atau pondok pesantren yang dinyatakan
dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi
pelajaran tertentu”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa yang dimaksud
dengan prestasi belajar adalah “penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang
dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau
angka nilai yang diberikan oleh guru”.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan yang dicapai dari suatu
kegiatan atau usaha yang dapat memberikan kepuasan emosional, dan dapat diukur
dengan alat atau tes tertentu.
2)
Jenis dan indikator prestasi belajar
Prestasi belajar pada dasarnya adalah hasil akhir yang
diharapkan dapat dicapai setelah seseorang belajar. Menurut Ahmad Tafsir (2008:
34-35), hasil belajar atau bentuk perubahan tingkah laku yang diharapkan itu
merupakan suatu target atau tujuan pembelajaran yang meliputi 3 (tiga) aspek
yaitu: 1) tahu, mengetahui (knowing); 2) terampil melaksanakan atau
mengerjakan yang ia ketahui itu (doing); dan 3) melaksanakan yang ia
ketahui itu secara rutin dan konsekwen (being).
Adapun menurut Benjamin S. Bloom, sebagaimana yang
dikutip oleh Abu Muhammad Ibnu Abdullah (2008), bahwa hasil belajar
diklasifikasikan ke dalam tiga ranah yaitu: 1) Ranah Kognitif (cognitive
domain); 2) Ranah Afektif (affective domain); dan 3) Ranah
Psikomotor (psychomotor domain).
Bertolak dari kedua pendapat tersebut di atas, lebih
cenderung kepada pendapat Benjamin S. Bloom. Kecenderungan ini didasarkan pada
alasan bahwa ketiga ranah yang diajukan lebih terukur, dalam artian bahwa untuk
mengetahui prestasi belajar yang dimaksudkan mudah dan dapat dilaksanakan,
khususnya pada pembelajaran yang bersifat formal. Berdasarkan hal tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa jenis prestasi belajar itu meliputi 3 (tiga) ranah
atau aspek, yaitu: 1) ranah kognitif (cognitive domain); 2) ranah
afektif (affective domain); dan 3) ranah psikomotor (psychomotor
domain).
Untuk mengungkap hasil belajar atau prestasi belajar
pada ketiga ranah tersebut di atas diperlukan patokan-patokan atau
indikator-indikator sebagai penunjuk bahwa seseorang telah berhasil meraih
prestasi pada tingkat tertentu dari ketiga ranah tersebut. Dalam hal ini
Muhibbin Syah mengemukakan bahwa: kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data
hasil belajar siswa sebagaimana yang terurai di atas adalah mengetahui
garis-garis besar indikator (penunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan
dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau diukur. Pengetahuan dan
pemahaman yang mendalam mengenai indikator-indikator prestasi belajar sangat
diperlukan ketika seseorang akan menggunakan alat dan kiat evaluasi. Muhibbin
Syah (2008: 150) mengemukakan bahwa urgensi pengetahuan dan pemahaman yang
mendalam mengenai jenis-jenis prestasi belajar dan indikator-indikatornya
adalah bahwa pemilihan dan penggunaan alat evaluasi akan menjadi lebih tepat,
reliabel, dan valid.
Selanjutnya agar pemahaman dapat lebih mendalam
mengenai kunci pokok tadi, maka untuk memudahkan alat dan kiat evaluasi
yang dipandang tepat, reliabel dan valid, di bawah ini disajikan tabel yang berkenaan
dengan ketiga ranah psikologi (Suryabrata, 1982 : 102).
Tabel Jenis, Indikator dan Cara Evaluasi Prestasi[19]
Ranah/Jenis Prestasi
|
Indikator
|
Cara Evaluasi
|
A.Ranah Cipta (Kognitif)
1.
Pengamatan
2.
Ingatan
3.
Pemahaman
4.
Aplikasi/Penerapan
5.
Analisis (Pemeriksaan dan pemilahan secara teliti)
6.
Sintesis (membuat paduan baru dan utuh)
|
1.
Dapat menunjukkan;
2.
Dapat membandingkan;
3.
Dapat menghubungkan.
1.
Dapat menyebutkan;
2.
Dapat menunjukkan kembali.
1.
Dapat menjelaskan;
2.
Dapat mendefinisi-kan dengan lisan sendiri.
1.
Dapat memberikan contoh;
2.
Dapat menggunakan secara tepat.
1.
Dapat menguraikan;
2.
Dapat mengklasifikasikan /memilah-milah.
1.
Dapat menghubungkan materi-materi, sehingga menjadi
kesatuan baru;
2.
Dapat menyimpulkan;
3.
Dapat menggeneralisasi-kan (membuat prinsip umum)
|
1.
Tes lisan;
2.
Tes tertulis;
3.
Observasi.
1.
Tes lisan;
2.
Tes tertulis;
3.
Observasi.
1.
Tes lisan;
2.
Tes tertulis.
1.
Tes tertulis;
2.
Pemberian tugas;
3.
Observasi.
1.
Tes tertulis;
2.
Pemberian tugas.
1.
Tes tertulis;
2.
Pemberian tugas.
|
B. Ranah Rasa (Afektif)
1.
Penerimaan
2.
Sambutan
3.
Apresiasi (Sikap menghargai)
4.
Internalisasi
5.
Karakterisasi (Penghayatan)
|
1.
Menunjukkan sikap menerima;
2.
Menunjukkan sikap menolak.
1.
Kesediaan berpartisipasi/terlibat;
2.
Kesediaan memanfaatkan
1.
Menganggap penting dan bermanfaat;
2.
Menganggap indah dan harmonis;
3.
Mengagumi
1.
Mengakui dan meyakini;
2.
Mengingkari.
1.
Melembagakan atau meniadakan;
2.
Menjelmakan dalam pribadi dan perilaku sehari-hari.
|
1.
Tes tertulis;
2.
Tes skala sikap
3.
Observasi.
1.
Tes skala sikap;
2.
Pemberian tugas;
3.
Observasi.
1.
Tes skala penilaian sikap;
2.
Pemberian tugas;
3.
Observasi.
1.
Tes skala sikap;
2.
Pemberian tugas ekspresif (yang menyatakan sikap)
dan tugas proyektif (yang menyatakan perkiraan atau ramalan).
1.
Pemberian tugas ekspresif dan proyektif;
2.
Observasi.
|
C. Ranah Karsa (Psikomotor)
1.
Keterampilan bergerak dan bertindak
2.
Kecakapan ekspresi verbal dan non-verbal
|
1.
Kecakapan mengkoordinasikan gerak mata, tangan,
kaki, dan anggota tubuh lainnya.
1.
Kefasihan melafal-kan/mengucapkan;
2.
Kecakapan membuat mimik dan gerakan jasmani.
|
1.
Observasi;
2.
Tes tindakan.
1.
Tes lisan;
2.
Observasi;
3.
Tes tindakan.
|
3)
Pendekatan Evaluasi Prestasi Belajar
Ada dua macam pendekatan yang amat popular dalam
mengevaluasi atau menilai tingkat keberhasilan /prestasi belajar yakni;
a.
Norm refencing atau norm referenced assement(penilaian
acuan norma)
Dalam penilaian yang menggunakan pendekatan PAN (
Penilaian Acuan Norma), prestasi belajar seorang peserta didik diukur dengan
membandingkannya dengan prestasi yang dicapai teman – teman sekelas atau
sekelompoknya (Tardif, 1989 : 227). Jadi, pemberian skor atau nilai peserta
didik tersebut merujuk pada hasil perbandingan antara skor-skor yang diperoleh
teman-teman sekelmpoknya dengan skornya sendiri (Nasution, 1996 : 195). Sebagai
contoh, sekelompok SLTP terdiri dari 10 orang dan memperoleh skor hasil evaluasi
formatif Pendidikan Agama Islam (PAI) masing-masing : 50, 45, 45, 40,40, 40,
35,35, 30, 25.
Skor-skor di atas, mula-mula dipandang sebagai nilai
mentah, lalu dikonversikan/diubah ke dalam nilai-nilai dengan rentangan 1
sampai 10 atau 10-100. Hasilnya, karena skor di atas yang tertinggi adalah 50,
maka siswa yang mendapat skor tersebut berarti meraih nilai 10 atau 100, sedang
siswa yang mendapat skor rendah (25) berarti memperoleh nilai 5 atau 50. Secara
professional skor-skor di atas setara dengan nilai 10,9,9,8,8,7,7,6 dan 5 atau
100, 90 dan seterusnya ke bawah.
Selain itu , pendekatan PAN juga diimplimentasikan
dengan cara menghitung dan membandingkan persentase jawaban benar yang
dihasilkan seorang siswa dengan persentase jawaban benar yang dihasilkan
kawan-kawan sekelompoknya.[20] Kemudian,
persentase jawaban-jawaban benar masing-masing siswa tersebut dikonversikan ke
dalam nilai 1-10 atau 10-100.
contoh, apabila soal evaluasi sumatif matematika untuk siswa kelas 3 Madrasah Tsanawiyah terdiri dari 60 butir dan persentase jawaban benar tertinggi adalah 83,3% misalnya, maka persentase ini dianggap bernilai 10 atau 100. Nilai ini muncul berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus sederhana, yakni :
contoh, apabila soal evaluasi sumatif matematika untuk siswa kelas 3 Madrasah Tsanawiyah terdiri dari 60 butir dan persentase jawaban benar tertinggi adalah 83,3% misalnya, maka persentase ini dianggap bernilai 10 atau 100. Nilai ini muncul berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus sederhana, yakni :
Jumlah jawaban benar x 100, yang dalam hal ini : 50 (jawaban benar)
x 100 =83,3 Jumlah butir soal 60 (butir soal)
Selanjutnya , untuk persentase jawaban benar 75%
dikonversikan ke dalam nilai 9 atau 90 dengan perhitungan :
75 % x 10 = 9 atau 90
83,3%
Dengan demikian, untuk persentase-persentase jawaban
benar lainnya seperti 60%, 50% dan seterusnya dikonversikan ke dalam
nilai-nilai yang relevan berdasarkan perhitungan di atas.
b.
Criterion referencing atau criterion referenced
assement ( Penilaian Acuan Kriteria )
Penilaian dengan pedekatan PAK ( penilaian acuan
kriteria) menurut Tardif et al (1989; 95) merupakan proses pengukuran prestasi
belajar dengan cara membandingkan pencapaian seorang siswa dengan pelbagai
perilaku ranah yang telah ditetapkan secara baik ( well-defined domain
behaviours) sebagai patokan absolute. Oleh karena itu, dalam
mengimplementasikan pendekatan Penilaian Acuan Kriteria diperlukan adanya
kriteria mutlak yang merujuk pada tujuan pembelajaran umum dan khusus (TPU dan
TPK). Artinya, nilai atau kelulusan seseorang siswa bukan berdasarkan
perbandingan dengan nilai yang dicapai oleh teman-teman sekelompoknya melainkan
ditenukan oleh penguasaannya atas materi pelajaran hingga batas yang sesuai
dengan tujuan instruksional.[21]
Pendekatan penilaian seperti di atas biasanya
diterapkan dalam sistem belajar tuntas (mastery learning). Dalam sistem
belajar tuntas, seorang siswa baru dapat dinyatakan lulus dalam evaluasi suatu
mata pelajaran apabila ia telah menguasai seluruh materi secara merata dan
mendalam dengan nilai minimal 80 (Pressley &McCormick, 1995 : 580).
Sebagai contoh, apabila pelajaran agama di kelas I
SLTP misalnya harus dikuasai secara tuntas antara lain siswa harus terampil
mempraktekkan sholat lengkap dengan penguasaan atas arti bacaan dan do’anya,
lalu penguasaannya ditentukan minimal 80%, maka nilai kelulusan pelajaran
tersebut harus bergerak dari 80 sampai 100. oleh karena itu, seorang siswa yang
telah mencapai nilai 75 sekalipun, belum dapat dinyatakan lulus/berhasil
meskipun nilai ini tertinggi di antara nilai teman-temannya yang rata-rata
mungkin hanya 70 atau kurang.[22]
4)
Batas Minimal Prestasi Belajar
Setelah mengetahui indikator dan memperoleh skor hasil
evaluasi belajar diatas , guru perlu pula mengetahui bagaimana kiat menetapkan
batas minimal keberhasilan belajar para siswanya. Hal ini penting karena
mempertimbangkan batas terendah prestasi siswa yang dianggap berhasil dalam
arti luas bukanlah perkara yang mudah. Keberhasilan dalam arti luas berarti
keberhasilan yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah ranah
psikologis, walaupun berkaitan satu sama lain, kenyataannya sukar diungkap
sekaligus jika hanya melihat perubahan yang terjadi pada salah satu ranah.
Contoh: seorang siswa yang memiliki nilai tinggi dalam bidang studi agama Islam
misalnya, belum tentu rajin beribadah sholat. Sebaliknya, siswa lain yang
mendapat nilai cukup dalam bidang studi tersebut, justru menunjukkan perilaku
yang baik dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jadi, nilai hasil evaluasi
sumatif atau ulangan “X” dalam raport, misalnya, mungkin secara efektif dan
psikomotor menjadi “X-“ atau “ X+”. Inilah tantangan berat yang harus dihadapi
oleh para guru sepanjang masa. Untuk menjawab tantangan ini guru seharusnya
tidak hanya terikat oleh kiat penilaian yang bersifat kognitif, tetapi juga
memperhatikan kiat penilaian yang bersifat afektif dan psikomotor siswa.
Menetapkan batas minimum keberhasilan belajar siswa
selalu berkaitan dengan upaya pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa
alternative norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti
proses belajar. Diantara norma-norma pengukuran tersebut ialah:
1)
Norma skala angka dari 0 sampai 10
2)
Norma skala angka dari 0 sampai 100
Angka terendah yang menyatakan kelulusan/keberhasilan
belajar (passing grade) skala 0-100 adalah 55 atau 60. Alhasil pada
prinsipnya seorang siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh tugas atau
dapat menjawab lebih dari setengah instrumen evaluasi dengan benar, ia dianggap
telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar. Namun demikian, kiranya
perlu dipertimbangkan oleh para guru sekolah penetapan passing grade
yang lebih tinggi (misalnya 65 atau 70) untuk pelajaran-pelajaran inti (core
subject). Pelajaran-pelajaran inti ini meliputi, antara lain: bahasa dan
matematika, karena kedua bidang studi ini (tanpa mengurangi pentingnya
bidang-bidang studi yang lain) merupakan “kunci pintu” pengetahuan-pengetahuan
lainnya. Pengkhususan passing grade seperti ini sudah berlaku umum
dibanyak negara maju dan telah mendorong peningkatan kemajuan belajar siswa
dalam bidang-bidang studi lainnya.[23]
Selanjutnya, ada pula norma lain yang berlaku di
perguruan tinggi yaitu norma prestasi belajar dengan menggunakan simbol
huruf-huruf A, B, C, D dan E. Simbol huruf-huruf ini dapat dianggap sebagai
terjemahan dari simbol-simbol angka sebagaimana dijelaskan dalam tabel di bawah
ini :
Perbandingan Nilai Angka, Huruf dan Predikatnya
Simbol-simbol
Nilai
|
Predikat
|
|
Angka
|
Huruf
|
|
8 – 10 = 80 – 100 =
3,1 – 4
7 – 7,9 = 70 – 79
= 2,1 – 3
6 – 6,9 = 60 – 69
= 1,1 – 2
5 – 5,9 = 50 – 59
= 1
0 – 4,9 = 0 –
49 = 0
|
A
B
C
D
E
|
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
Gagal
|
Perlu ditambahkan bahwa simbol nilai angka yang berskala
antara 0 sampai 4 seperti yang tampak pada tabel di atas lazim dipergunakan di
perguruan tinggi. Skala angka yang berinterval jauh lebih pendek daripada skala
angka lainnya dipakai untuk menetapkan indeks prestasi (IP) mahasiswa, baik
pada setiap semester maupun pada akhir penyelesaian studi. Hal lain yang lebih
penting dalam proses evaluasi prestasi bukan norma mana yang harus diambil,
melainkan sejauh mana norma itu dipakai secara lugas untuk mengevaluasi seluruh
kecakapan siswa yaitu (kognitif, afektif dan psikomotor).[24]
BAB III
KESIMPULAN
Evaluasi
adalah penilaian terhadap keberhasilan program pembelajaran siswa, yang
bertujuan antara lain: untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai
siswa, dan berfungsi untuk menentukan posisi siswa dalam kelompoknya. Ragam
evaluasi terdiri atas: pre-test dan post-test, evaluasi prasyarat, evaluasi
diagnostik, evaluasi formatif, evaluasi sumatif, dan Ujian Akhir Nasional
(UAN). Evaluasi prestasi hasil belajar meliputi prestasi kognitif, prestasi
afektif, dan prestasi psikomotorik.
Evaluasi
prestasi kognitif dapat dilakukan dengan berbagai cara baik dengan tes tertulis
maupun tes lisan dan perbuatan. Evaluasi prestasi afektif dapat dilakukan
dengan menggunakan Skala Likert (Likert Scale) dan/atau diferensial
semantik yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan/sikap siswa mulai
sangat setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju terhadap sesuatu
yang harus direspon. Evaluasi prestasi psikomotor dapat dilakukan dengan
mengobservasi perilaku jasmaniah siswa dan dicatat dalam format observasi
keterampilan melakukan pekerjaan tertentu.
Pendekatan Acuan Norma (PAN) untuk mengevaluasi tinggi rendahnya nilai seorang
siswa berdasarkan hasil perbandingan dengan skor atau presentasi jawaban benar
yang dicapai kelompoknya, sedangkan pendekatan Acuan Kriteria (PAK) untuk
mengevaluasi keberhasilan belajar siswa berdasarkan kriteria tertentu yang
dijadikan patokan mutlak. Batas minimal keberhasilan belajar siswa (passing
grade) pada umumnya adalah 5,5 atau 6,0 untuk skala nilai 0,0-10, dan 55
atau 60 untuk skala 10-100, tetapi untuk mata pelajaran inti (core subject)
batas minimalnya adalah 6,5 atau 7,0 atau bahkan 8,0 jika pelajaran inti
tersebut memerlukan mastery learning.
[1] Prof.
Dr.S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar(
Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 78.
[6] M. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip Dan Teknik
Evaluasi Pengajaran (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000), 108.
[16] Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 153.
[23]Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010), 223
Komentar
Posting Komentar