HUKUM PERNIKAHAN LINTAS AGAMA
ABSTRAK
Pernikahan merupakan sebuah ikatan sakral yang diatur dengan baik
dalam Islam. Secara terminologi pernikahan merupakan penyatuan dua insan yaitu
kaum laki-laki dan perempuan untuk saling membangun relasi dalam rumah tangga
dengan pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing sehingga terwujud keluarga
yang harmonis.
Dalam lingkup sosial terdapat banyak fenomena mengenai pernikahan,
salah satunya adalah pernikahan lintas agama yang menyedot perhatian publik
begitupun para pemuka agama di Negeri ini. Pada dasarnya dalam Al-Quran secara
tekstual telah dijelaskan, tidak lebih tiga ayat yang menjelaskan tentang pernikahan
lintas agama tersebut, yaitu dalam QS. Al- Baqarah (2): 221, al- Mumtahanah
(60): 10, al- Maidah (5): 5.
Pertama, surah al-
Baqarah ayat 221:
“Janganlah kamu kawini permepuan-perempuan musyrik sebelum
mereka beriman. Perempuan budak yang beriman lebih baik daripada perempuan
musyrik yang menarik hatimu. Dan janganlah kamu mengawinkan (perempuanmu)
dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. Seorang laki-lai budk beriman
lebih baik dari pada seorang laki-laki musyrik sekalipun ia menarik hatimu.
Mereka (kaum musyrik) akan membawa ke dalam api (neraka)....”
Kedua, surah
al-Mumtahanah ayat 10:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan
mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.
Allah sungguh mengetahui keimnanan mereka. Bila kamu mengetahui bahwa mereka
benar-benar beriman, janganlah kamu mengembalikan meraka kepada orang-orang
kafir. Mereka tidak halal bagi laki-laki kafir, dan laki-laki kafir tidak halal
bagi mereka (perempuan-perempuan mukmin)”
Ketiga, surah al-
Maidah ayat 5:
“Pada hari dihalalkan bagi kamu semua barang yang baik. Dan
makanan sembelihan ahli kitab adlah halal bagi kamu, dan makanan kamu juga
halal bagi mereka. Dan demikian dihalalkan bagimu mengawini perempuan-perempuan
yang suci diantara perempuan-perempuan mukmin (al muhtsanatu min al mu’minat),
serta perempuan-perempuan yang suci diantara orang-orang yang diberi kitab
sebelum kamu (al-muhsanatu min al- adzina utu al- kitaba min qablikum) jika
kamu berikan kepada mereka maskawin, bukan dengan zina dan bukan dengan
diam-diam mengambil mereka sebagai gundik...”
Dari ketiga ayat yang dipaparkan dalam surah yang berbeda-beda
diatas, Suhadi dalam bukunya yang berjudul Kawin Lintas Agama Perspektif nalar
Islam menyebutkan bahwa ayat-ayat diatas memiliki makna yang bertingkat. Ayat
pertama melarang agar pengikut Muhammad mengawini orang musyrik, baik laki-laki
muslim mengawini perempuan musyrik, maupun sebaliknya. Ayat kedua mengungkapkan
larangan perempuan mukmin dikawinkan dengan laki-laki kafir. Ayat ketiga
memperbolehkan pengikut Muhammad mengawini perempuan ahli kitab.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Perkawinan atau pernikahan adalah hal yang sangat dibutuhkan bagi
kehidupan manusia baik secara alamiyah maupun secara pandangan agama. Secara
alamiyah, manusia sangat membutuhkan hal itu untuk kelangsungan keberadaan
manusia itu sendiri sebagai mahluk hidup serta sebagai kebutuhan biologisnya.
Dalam pandangan agama, perkawinan bertujuan untuk melanjutkan syi’ar Islam agar
tidak terputus generasi penerus umat islam dan memajukan agama Islam juga untuk
menghindarkan diri dari perbuatan zina.
Di Indonesia, pasal
tentang perkawinan diatur oleh undang-undang yang dijadikan landasan dalah
hukum perkawinan sebagai warga Indonesia. Didalam Islam, juga
memiliki beberapa peraturan yang harus dipenuhi untuk menjaga keabsahan dari
pernikahan. Kadang terjadi pro dan kontra antara hukum positif di Indonesia
dengan Hukum Islam yang mengatur masalah pernikahan.
Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, dari segi suku,
agama, dan ras, terdapat berbagai macam masalah yang timbul di dalamnya. Salah
satu masalah yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam
masyrakat sekarang ini ialah dimana kita sering jumpai terjadinya perlangsungan
pernikahan beda agama.
Dari beberapa masalah hukum pernikahan, ada suatu permasalahan yang akan
dibahas dalam makalh ini yaitu, “Hukum Nikah Beda Agama” .
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana konsep pernikahan beda Agama?
2.
Bagaimana hukum pernikahan beda Agama dalam Islam?
3.
Bagaimana hukum pernikahan beda agama menurut tata hukum di
Indonesia?
4.
Apa dampak yang terjadi akibat pernikahan beda Agama?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui konsep pernikahan Beda Agama.
2.
Untuk mengetahui hukum pernikahan beda Agama dalam Islam.
3.
Untuk mengetahui hukum pernikahan beda agama menurut tata hukum di
Indonesia.
4.
Untuk mengetahui dampak yang terjadi akibat pernikahan beda Agama.
D.
Manfaat Pembahasan
1.
Agar Mengetahui konsep pernikahan Beda Agama.
2.
Agar Mengetahui
hukum pernikahan beda Agama dalam Islam.
3.
Agar Mengetahui hukum pernikahan beda agama menurut tata hukum di
Indonesia.
4.
Agar Mengetahui dampak yang terjadi akibat pernikahan beda Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Nikah
Beda Agama
Perkawinan
dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti
bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad. Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas
pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.[1]
Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan,
tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.
Pengukuhan
disini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan pembuatan syari’ah, bukan sekedar pengukuhan
yang dilakukan oleh dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang
bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata. Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah “Aqad
yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita”. Dengan aqad tersebut
seseorang akan terhindar dari perbuatan haram (zina). Menurut mazhab Syafi’i
pernikahan adalah “Aqad yang menjamin diperbolehkan persetubuhan”. Sedang
menurut mazhab Hambali adalah “Aqad yang di dalamnya terdapat lafazh pernikahan
secara jelas, agar diperbolehkan bercampur”.[2]
Menikah
dengan pasangan yang se-agama tentu tidak akan susah-susah mengurus segala
sesuatu mulai dari restu keluaga, juga dalam berhubungan dengan pemuka agama
yang menikahkan hingga pegawai pencatat nikah. Akan tetapi ceritanya akan lain
kalau Anda sudah berketetapan hati untuk menikah dengan seseorang yang
merupakan pasangan hidup anda. Bukan sekedar karena sudah bilang mencintai,
tapi juga niat tulus untuk berbuat baik dan membangun keluarga bersama dalam
sebuah ikatan. Tetapi niat baik itu akan terbentur tembok agama dan juga
birokrasi hukum.
Nikah beda agama (perkawinan campuran) adalah perkawinan antara dua
orang, pria dan wanita, yang tunduk pada hukum yang berlainan karena beda
agama.[3]Pernikahan
beda agama pada dasarnya berarti pernikahan yang dilangsungkan antar pasangan
yang berbeda agama satu sama lain. Pernikahan bernuansa keragaman ini banyak
terjadi dan kita jumpai didalam kehidupan bermasyarakat.[4]Persoalan
nikah beda agama dalam konteks Negara Indonesia adalah persoalan hukum.
Sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan antara penganut agama
bersangkutan dengan penganut agama lain adalah persoalan teologis dan
tafsir-tafsir keagamaan.[5]
B.
Hukum Pernikahan Beda Agama
Ketika
membicarakan tentang orang-orang yang boleh dan haram untuk dinikahi, maka kita
tidak bisa melepaskan pembicaraan lebih jauh mengenai hukum menikah dengan ahli
kitab, kita harus memberi batasan terlebih dahulu apa yang dimaksud ahli kitab,
karena banyak orang yang mengira bahwa setiap non muslim atau orang kafir itu
adalah ahli kitab.
Ada banyak
pendapat mengenai siapa ahli kitab. Jika kita mengacu pada beberapa ayat
al-Qur’an yang menyebutkan ahli kitab biasanya ayat tersebut menunjuk pada
komunikasi nasrani dan yahudi. Akan tetapi Imam Syafi’i membatasi pengertian
ahli kitab hanya kepada orang-orang yahudi dan nasrani dari keturunan Bani
Israil.
Abu Hanifah dan beberapa ahli fiqih lain, salah
satunya Imam Abu Saur menyatakan bahwa ahli kitab adalah seluruh komunitas yang
mempercayai salah seorang nabi atau kitab suci yang diturunkan Allah SWT. Jadi ahli kitab menurut mereka bukan hanya menunjuk
kepada komunitas yahudi dan nasrani.
Sementara itu, setelah
meneliti beberapa pendapat ulama, Quraish shihab dalam bukunya wawasan
al-Qur’an mengemukakan kecenderungannya memahami ahli kitab sebagai semua
penganut agama yahudi dan nasrani, kapanpun, dimanapun dan dari keturunan
siapapun mereka. Pendapat ini berdasarkan pada penggunaan al-Qur’an terhadap
istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan tersebut (yahudi dan
nasrani). Pendapat Quraish Shihab di atas termasuk pendapat yang moderat dan
banyak dipegang para ulama’. Maka pengertian ahli kitab lebih menunjuk kepada
pengertian komunitas yahudi dan nasrani pada umumnya.
Pembagian pernikahan agama dalam hukum islam :
1.
Muslimah
menikah dengan laki-laki non muslim
Semua ulama sepakat bahwa perempuan
muslim/muslimah tidak diperbolehkan (haram) kawin menikah dengan laki-laki non
muslim,baik ahli kitab maupun kaum musyrik,pengharaman tersebut selain
didasarkan pada QS.Al-Baqarah ayat [2]: 221 juga didasarkan QS. Al-Mumtahanah
ayat [60] 10 :
221. dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (Q.S.
al-Baqarah: 221)[6]
“Wahai orang-orang
yang beriman,apabila perempuan-perempuan mukmin datang hijrah kepada
kalian,maka hendaknya kamu uji (keimanan) mereka. Allah sungguh mngetahui keimanan
mereka ,jika kamu mengetahui bahwa mereka (benar-benar)beriman maka janganlah
kalian mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir.Mereka (perempuan mukmin)
tidaklah halal bagi mereka (laki-laki kafir) dan mereka (laki-laki kafir) juga
tidak halal bagi mereka(perempuan mukmin………..”
(QS.al-Mumtahanah [60] : {10} )
Menurut
Ali ash-Shabuni dalam QS. al-Mumtahanah ayat 10, mengandung kemutlakan yang
mencakup juga ahli kitab dan non muslim lainnya termasuk murtad dari Islam. Menurut Sayid Sabiq, mengatakan bahwa ulama’
fiqih sepakat mengharamkan
perkawinan perempuan muslim dengan pria non muslim dari golongan manapun. As-Sayyid Sabiq menyebutkan beberapa argument tentang
sebab diharamkannya perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non muslim
sebagai berikut :
a.
Orang kafir tidak boleh
menguasai orang islam berdasarkan QS.an-Nisa [4] : 141 : “……..dan
Allah takkan memberi jalan orang kafir itu mengalahkan orang mukmin.
b.
Laki-laki kafir dan
Ahli kitab tidak akan mau mengerti agama istrinya yang muslimah,malah sebaliknya
mendustakan kitab dan mengingkari ajaran nabinya.
c.
Dalam rumah tangga
campuran, pasangan suami istri tidak mungkin tinggal dan hidup [bersama] karena
perbedaan yang jauh[7]
Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang
wanita islam dengan pria Kristen/Yahudi,karena dikhawatirkan wanita islam itu
kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya,kemudian
terseret kepada agama suaminya.Demikian pula anak-anak yang lahir dari hasil
perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya,karena
bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak-anak melebihi ibunya. Dalam hal
ini,fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa tiada sesuatu agama dan sesuatu ideologi
dimuka bumi ini yang memberikan kebebasan beragama dan bersikap toleran
terhadap agama/kepercayaan lain, seperti agama islam.[8] Sebagaimana
firman Allah :
“120. orang-orang Yahudi
dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang
benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu” (QS.Al-Baqarah [2] :120 )
2.
Lelaki
muslim menikah dengan perempuan non muslim
Pengertian
Non-Muslim di dalam Islam
Sebelum kita membahas tentang pernikahan beda agama,sebaiknya
kita perlu mengetahui tentang perngertian non-muslim didalam agama Islam. Golongan
non-muslim sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a)
Golongan Orang Musyrik
Menurut
Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman 282 karya As Syech
Muhammad Ali As Shobuni,orang musrik ialah orang orang yang telah berani
menyekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya
(penyembahan patung ,berhala dsb)
b) Golongan Ahli
Kitab
Menurut
Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz
1 halaman As Syech Muhammad Ali As Shobuni,Ahli Kitab adalah mereka
yang berpegang teguh pada Kitab Taurat yaitu agama Nabi Musa
As,atau mereka yang berpegang teguh pada Kitab Injil agama Nabi Isa
as.atau banyak pula yang menyebut sebagai agama samawi atau
agama yang diturunkan langsung dari langit yaitu Yahudi
dan Nasrani.Mengenai istilah Ahli Kitab ini,terdapat perbedaan pendapat diantara
kalangan Ulama, ada yang berpendapat bahwa mereka semua kaum Nasrani termasuk yang tinggal
di Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah mereka yang nasabnya
(menurut silsilah sejak nenek moyangnya terdahulu) ketika diturunkan sudah
memeluk agama nasrani di Indonesia berdasarkan pendapat sebagian ulama’tidak
termasuk Ahli Kitab[9]
Pernikahan seorang lelaki muslim dengan
perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:
(1)
Lelaki
muslim menikah dengan perempuan ahli kitab.
Jika wanita
haram menikah dengan laki-laki non muslim termasuk laki-laki ahli kitab, tidak
demikian halnya dengan laki-laki muslim. Para lelaki muslim hukumnya mubah
menikahi perempuan dari komunitas ahli kitab, yaitu komunitas yahudi dan
nasrani. Diluar dua komunitas ini laki-laki muslim pun haram menikahinya.
Firman Allah :
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik.
makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan[402][10]
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi. (Q.S.
al-Maidah : 5)[11]
Menurut
Yusuf al-Qardlawi berpendapat tentang bolehnya seorang lelaki muslim menikah
dengan perempuan kitabiyah, sifatnya tidak mutlak, tetapi dengan beberapa
syarat yang wajib diperhatikan, yaitu:
(a)
Kitabiyah
itu benar-benar berpegang pada ajaran Samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan
tidak beragama yang bukan agama Samawi.
(b)
Wanita
kitabiyah yang muhshanah (memelihara
kehormatan diri dari perbutana zina)
(c)
Ia bukan
kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan
kaum muslimin.
(d)
Dibalik
perkawinan dengan kitabiyah itu tidak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau
kemurtadan (keluar dari agama Islam). Makin besar kemungkinan terjadinya
kemurtadan makin besar tingkat larangan dan keharamannya. Nabi Muhammad SAW
pernah menyatakan “tidak bahaya dan tidak membahayakan”.
Walaupun
hukumnya mubah, mesti diperhatikan bahwa ada beberapa keburukan yang akan
terjadi manakala seorang lelaki muslim menikah dengan wanita non muslim, antara
lain:
(1)
Akan
berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki muslim.
Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan laki-laki muslim yang
belum kawin. Sementara itu poligami diperketat yang malah laki-laki yang kawin
dengan wanita nasrani sesuai dengan ajaran agamanya serta tidak mungkin
menyetujuinya suaminya berpoligami.
(2)
Suami
mungkin terpengaruh oleh agama istrinya. Demikian pula anak-anaknya. Bila hal
ini terjadi maka benar-benar menjadi kenyataan.
(3)
Perkawinan
dengan non muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan
kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Lebih-lebih jika lelaki muslim dan wanita
kitabiyah berbeda tanah air, bahasa, dan budaya.
Para
ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan wanita
ahli kitab:
1) Menurut pendapat jumhur ulama’ baik hanafi,
maliki, syafi’i, maupun hambali, seorang pria muslim diperbolehkan kawin dengan
wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) Negara Islam (ahli
dzimmah). Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi:
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik.
makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan[402][12]
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi. (QS.Al-Maidah: 5)
2)
Golongan
syiah imamiyah dan syiah zaidiyah berpendapat bahwa pria muslim tidak boleh
kawin dengan wanita ahli kitab. Golongan ini melandaskan pendapatnya pada
dalil:
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”. (QS.
al-Baqarah: 221)
Golongan
ini berpendapat bahwa wanita-wanita ahli kitab itu termasuk kafir, karena
wanita-wanita ahli kitab itu telah musyrik (menyekutukan Allah). Firman Allah:
“...dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir; ...”(QS.al-Mumtahanah: 10)
Kemudian
dikalangan jumhur ulama’ yang memperbolehkan kawin dengan ahli kitab, juga
berpendapat:
(1)
Sebagian
mazhab hanafi, maliki, syafi’i dan hambali mengatakan bahwa hukum perkawinan
itu makruh.
(2)
Menurut
pendapat sebagian mazhab maliki, ibnu qasim, khalil, mengatakan bahwa
perkawinan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat.
(3)
Az-Zarkasyi
(mazhab syafi’i) mengatakan bahwa pernikahan itu disunnahkan, apabila wanita
ahli kitab itu diharapkan dapat masuk Islam. Sebagai contohnya adalah
perkawinan Usman bin Affan dengan Nailah, sebagaimana telah dikemukakan sebelum
ini. Sebagian mazhab syafi’i pun ada yang berpendapat demikian.[13]
2)
Lelaki
muslim menikah dengan perempuan non ahli kitab.
Dalam
hal ini banyak ulama’ yang melarang dengan dasar Q.S. al-Baqarah ayat 221:
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (Q.S.
al-Baqarah: 221)
Ayat
tersebut secara tegas menunjukkan keharaman menikah dengan kaum musyrik.[14] Selain hukum pernikahan beda agama di atas,
para tokoh Islam juga berpendapat mengenai hukum nikah beda agama, antara lain:
Menurut
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal, melarang perkawinan pria muslim
dengan wanita musyrik dan membolehkan dengan wanita yahudi dan nasrani.
Sekalipun ahli kitab tersebut meyakini trinitas tidak menjadi persoalan karena
yang terpenting mereka mempunyai kitab samawi dan tetap berstatus sebagai ahli
kitab.
Selain itu banyak ulama yang menafsirkan bahwa Al
Kitab di sini adalah Injil dan Taurat. Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yang
sama, agama samawi, maka para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini. Untuk
kasus ini, yg dimaksud dengan musyrik adalah penyembah berhala, api, dan
sejenisnya. Untuk poin 2, menikah dengan perempuan yang bukan ahli kitab, para
ulama sepakat melarang.
Selain itu ada beberapa keterangan bahwa Hindu,
Budha atau Konghuchu tidak termasuk agama samawi (langit) tapi termasuk agama
ardhiy (bumi). Karena benda yang mereka katakan sebagai kitab suci itu bukanlah
kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil pemikiran para tokoh
mereka dan filosof mereka. Sehingga kita bisa bedakan bahwa kebanyakan isinya
lebih merupakan petuah, hikmah, sejarah dan filsafat para tokohnya.
Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di
dalamnya yang mengatur masalah kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat,
zina, minuman keras, judi dan pencurian. Sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran
Al-Karim, Injil atau Taurat. Yang ada hanya etika, moral dan nasehat. Benda itu
tidak bisa dikatakan sebagai kalam suci dari Allah yang diturunkan melalui
malaikat Jibril dan berisi hukum syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan Injil,
jelas-jelas kitab samawi yang secara kompak diakui sebagai kitabullah.
Sementara itu, Imam Syafi’i dalam kitab
klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut,
“Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang
berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut
agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab.
Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan
dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.”
Sementara itu, para jumhur shahabat membolehkan
laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin
Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para
shahabat Nabi juga ada para tabi`Insya Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan,
Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri. Pada generasi berikutnya ada Imam Asy-Syafi`i,
juga ahli Madinah dan Kufah.
Pendapat yang mengatakan
bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa
nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada
yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa.
Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena
mereka adalah musyrik. Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah
itu boleh dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun
demikian, wanita muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan agamanya
tentu lebih utama dan lebih layak bagi seorang muslim dibanding wanita ahlul
kitab. Juga apabila ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir nanti,
serta apabila jumlah pria muslim sedikit sementara wanita muslimah banyak, maka
dalam kondisi demikian ada yang berpendapat haram hukumnya pria muslim menikah
dengan wanita non muslim.[15]
Perkawinan
pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab terbagi kepada:
(1)
Perkawinan
dengan wanita musyrik
Agama
Islam tidak memperkenankan pri muslim kawin dengan wanita musyrik, sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 221. Ayat tersebut dengan
jelas melarang mengawini wanita musyrik. Demikian pendapat para ulama’
menegaskan demikian.
(2)
Perkawinan
dengan wanita majusi
Pria
muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita majusi (penyembah api), sebab
mereka tidak termasuk ahli kitab. Demikian pendapat jumhur ulama dan yang
dimaksud ahli kitab adalah yahudi dan nashara.
(2)
Perkawinan
dengan wanita shabi’ah
Shabi’ah
adalah satu golongan dalam agama nasrani: shabi’ah dinisbatkan kepada Shab
paman Nabi Nuh as. Ada pula yang berpendapat, dinamakan Shabi’ah, karena
berpindah dari satu agama kepada agama lain.
(3)
Perkawinan
dengan wanita penyembah berhala
Para
ulama’ telah sepakat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita
penyembah berhala dan penyembah benda-benda lainnya, karena mereka termasuk
orang-orang kafir.[16]
C. Hukum Pernikahan beda
agama menurut hukum di Indonesia
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 tanggal 10 Juni 1991Dan Keputusan MenteriAgama Nomor 154 tahun 1991
keluarlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi hukum positif unikatif bagi seluruh umat Islam di
Indonesia dan menjadi pedoman para hakim di lembaga peradilan agama dan menjalankan
tugas mengadili perkara perkara dalam bidang perkawinan,kewarisan dan perwakafan.Apabila
dilihat berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 40 ayat (c) yang bunyinya “Dilarang perkawinan antara seorang wanita beragama Islam dengan seorang
pria tidak beragama Islam”
Larangan perkawinan tersebut memiliki alasan yang
cukup kuat yaitu :
Pertama , apabila ditinjau dari segi UU perkawinan pasal 2 ayat (1) UU Nomor
1/1974 sudah jelas diterangkan bahwa “ tidak ada perkawinan di luar hukum
agamanya dan kepercayaannya” sehingga antara KHI dan hukum perkawinan di
Indonesia memiliki kaitan dalam urusan perkawinan beda agama ini.
Alasan yang kedua yaitu apabila dihubungkan
dengan dalil-dalil
hukum Islam diantaranya :
a)
Larangan tersebut sebagai tindakan preventif
untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga
akibat perkawinan antara
orang islam dan non-islam.
b)
Kaidah Fiqih
“……Mencegah \menghindari mafsadah/mudarat atau resiko, dalam hal ini
berupa kemurtadan dan broken home itu harus didahulukan/diutamakan
daropada upaya mencari/menarik ke dalam Islam(islamisasi) suami/istri,
anak-anak keturunannya nanti, dan keluarga besar dari masing-masing suami dan
istri yang berbeda agama itu”
c)
Pada
prinsipnya agama Islam melarang (haram) perkawinan antara seorang beragama Islam
dengan seorang yang tidak beragama Islam (QS. Al-Baqarah ayat 221),sedangkan izin kawin
seorang pria Muslim dengan seorang wanita dari Ahli Kitab (Nasrani/Yahudi) ada
pada surat Al-Maidah ayat 5 hanyalah dispensasi bersyarat yakni kualitas iman
dan Islam pria Muslim tersebut haruslah cukup baik. Karena perkawinan tersebut
mengandung resiko yang sangat tinggi bagi rumah tangganya nanti. Karena itu
pemerintah berhak membuat peraturan yang melarang perkawinan antara
seorang yang beragama Muslim (pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama
Islam(pria/wanita)apapun agamanya yang juga didukung oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 50 ayat
(c) dan pasal 4[17]
D.
Dampak
Negatif Pernikahan Antar-umat Berbeda Agama
Menikah merupakan sebuah kebutuhan
pokok setiap mahluk yang bernyawa (hidup). Bukan hanya manusia, jin, iblis, dan
syetan juga perlu melestarikan keturunan dengan cara menikah. Hewan dan
tumbuh-tumbuhan yang dikenal mahluk tak ber-akal, ternyata juga perlu menikah.
Esensi dari sebuah penikahan itu, sebenarnya bukan hanya sekedar melampiaskan
kebutuhan biologis belaka, tetapi melestarikan keturunan. Dalam ajaran islam,
Nabi Saw sebagai panutan memberikan penjelasan panjang lebar seputar tujuan
serta manfaat pernikahan. Bahkan, Nabi Saw juga memberikan teladan bagaimana
cara memilih kriteria pasangan sejati, agar supaya bahtera rumah tangga benar-benar sesuai dengan
manfaat dan tujuan menikah.Terkait dengan tujuan pernikahan, hendaknya memilih
kriteria calon pasangan yang sesuai dengan ajaran agama dan keyakinan.
Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi
setiap orang yang ber-imam supaya memilih pasangan yang se-iman. Wajar, jika
al-Qur’an dan hadis, banyak memberikan penjelasan seputar wanita atau lekaki
yang akan menjadi pasangan hidup. Allah Swt menegaskan bahwa ke-imanan
(tauhid), merupakan syarat mutlaq untuk menjadi pasangan hidup seseorang.
Sebab, pernikahan itu sebenarnya tidak hanya berlangsung di alam fana’, tetapi
hingga sampai pada kehidupan abadi (surga).
” Mereka dan isteri-isteri mereka berada
dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan” (QS Yasin (36):56)
Namun, jika pasangan itu tidak se-iman, maka
pasangan itu cukup semasa hidup didunia. Terkait dengan memilih pasangan, Nabi
Saw mewanti-wanti kepada pengikutnya agar jangan sampai salah pilih. Karena
dampakanya kurang baik di dalam membangun generasi unggulan, dan akan berbuntut
dikemudian hari. Nabi Saw Bersabda :
Diriwayatkan dari
Aisyah r.a., Nabi s.a.w menuturkan: ’’Pilihlah tempat yang paling benar wanita
yang akan mengandung anakmu “
(HR. al-Daru Qutni 3832)
Oleh karena itu, orang tua hendaknya
selektif di dalam menentukan pilihan menantunya. Belum tentu lelaki atau
pemilik (benih) yang akan tertanam di dalam rahim putrinya adalah benih yang
bagus, sehingga membawa kebaikan bagi banyak orang, khususnya keluarganya. Atau
sebaliknya, wanita pemilik (ladang) itu banyak hama, kuman dan virus, sehingga
benihnya tidak bisa tumbuh dengan baik dan sempurna.
Secara gamlang, Nabi Allah Swt
melarang menikahi wanita (pasangan) berbeda agama dan keyakinan. Sebagian
ulama’, sepakat bahwa menikah beda agama itu hukumnya haram, walaupun ada juga
yang berpendapat bahwa menikah dengan beda agama itu sekedar boleh. Dengan
catatan, wanita yang akan dinikahi itu termasuk bukan wanita yang menyekutukan
tuhan (syirik). Akan tetapi, lebih amannya ialah menikah dengan sesama agama
dan keyakinan.
Didalam QS al-Baqarah (2:221),
Allah Swt menjelaskan:” Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
Ayat ini
diturunkan di madinah, sehingga ia dikelompokkan dalam wahyu madaniyah.
Penamaan surah al-Baqarah yang berati “lembu betina”, diambil dari legenda yang
diuraikan dari ayat yag ke 61-67 tentang perintah nabi untuk menyembelih sapi (baqarah).
Sebagian besar ayat-ayat dalam surah al- Baqarah diturunkan pada 1-2 H. Surah
ini secara umum membicarakan masyarakat Yahudi dan perlawanan mereka terhadap
pengikut Muhammad.[18]
Asbabun
al-Nuzul ayat ini turun pada seorang sahabat yang beranama Abi Marsad
al-Ganawi. Ia datang kepada Nabi agar supaya di izinkan menikah dengan seorang
wanita yang sangat cantik dan menarik, akan tetapi wanita itu seorang yang
menyekutukan Allah SWT. Lantas ia bertanya” Wahai Rosulullah, sesungguhnya
wanita sangat cantik dan memikat hatiku” Kemudian, turunlah ayat ini sebagai
bukti larangan menikahi wanita musrik.
Ayat ini
mengisaratkan betapa pentingnya pernikahan atas dasar keyakinan dan agama.
Bukan berarti, kecantikan atau ketampanan tidak penting, akan tetapi, jika
kecantikan itu jutru membawa petaka dan pidana. Maka, apa artinya sebuah
pernikahan. Oleh karena itu, Nabi Saw menjelaskan secara terperinci, menikah
itu hendaknya juga memperhatikan (penampilan (cantik/ ganteng), materi (cukup),
nasab (keturunan) dan moral (agama). Masing-masing yang disebutkan di atas akan
saling menyempurnakan dan melengkapi menuju rumah tangga yang bahagia dan
sejahtera lahir dan batin.
Realitas dilapangan, ternyata
pasangan yang telah menikah dengan meng-atasnamakan cinta, ternyata justru
paling banyak bercerai. Apalagi, pernikahan itu dengan tidak seiman, justu
menyisakan duka lara. Walaupun ada orang yang menikah beda agama dan keyakinan
tidak masalah, tetapi realitasnya banyak yang menikah berahir dengan
perpisahan, serta masalah, bahkan sampai memperebutkan hak asuh anak-anak agar
mengikuti agama salah satu dari orangtuanya. Secara tegas, islam merlarang pemeluknya
menikah dengan orang yang menyekutukan Allah SWT, seperti menyembah berhala
(batu, kayu, patung), kecuali mereka beragama samawi (langit), seperti Nasrani,
Yahudi.
Sangatlah jelas larangan tentang
pernikahan antar orang yang berlainan agama. Maka, jika kita gunakan akal sehat
kita, sangatlah tidak rasional jika kita masih akan berbelok dari arahan Allah
juga nabi Muhammad dalam al-kitab dan as-sunnahnya. Karena pada hakikatnya,
petunjuk itu, tiada lain hanyalah bertujuan untuk keselamatan umat di dunia
sampai di akhirat nanti. [19]
BAB III
KESIMPULAN
Sebenarnya pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab diperbolehkan dalam Islam, tetapi karena saat ini sangat sulit
sekali ditemui wanita Ahli Kitab yang benar-benar “Ahli Kitab”, maka saya dapat
simpulkan bahwa pernikahan beda agama yang ada saat ini tidak dapat dikatakan
sah karena hampir tidak ada wanita Ahli Kitab yang benar-benar berpegang teguh
kepada Kitab Taurat dan atau Kitab Injil. Karena kedua Kitab suci tersebut yang
ada saat ini bukan Kitab Taurat dan Injil yang asli. Sedangkan bagi wanita
muslimah yang menikah dengan pria non-muslim, baik pria musyrik maupun pria
Ahli Kitab tetap dihukumi haram
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda
“Wanita itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya; karena
keturunannya; karena kecantikannya dan karena baik kualitas agamanya. Maka
pilihlah wanita yang baik kualitas agamanya, niscaya kalian akan beruntung”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka bagi kaum muslimin dan muslimah, alasan pernikahan beda agama
dengan alasan cinta, kesamaan hak, kebersamaan, toleransi atau apapun alasannya
tidak dapat dibenarkan.Perlu pula ditegaskan bahwa masalah pernikahan pria
muslim dengan wanita Ahli Kitab hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi boleh
dilakukan, namun bukan anjuran, apalagi perintah. Karenanya pernikahan yang
paling ideal dan yang bisa membawa kita selamat di dunia maupun akhirat serta
membawa keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah
adalah pernikahan dengan orang seagama yaitu Islam.
Wallahu ‘alam bisshowaab
DAFTAR PUSTAKA
(on line ) http://eduside.blogspot.com/2013/07/makalah-perkawinan-beda-agama.
html#sthash. 3npuBYIi.dpuf (Diakses Rabu,18 Maret
2015 pukul 22.03)
(on line) http://planetplaza.blogspot.com/2012/04/pernikahan-beda-agama-dalam-perspektif.html
(Diakses Sabtu 14 Maret 2014 pukul 22.05)
(on line) (http://www.academia.edu/3563359/ Makalah_Hukum_ Islam_Tentang_Perbedaan_ Agama? login= &email_was_ taken=true (Diakses Minggu,15 Maret 2015 pukul 13.07)
(on line) https://www.facebook.com/notes/von-edison-alouisci/hukum-islam-dalam-pernikahan-beda agama/ 235443739805678 (Diakses Rabu,10 Maret 2015 pukul 21.29)
Baso
Ahmad & Nurcholis Ahmad (editors). 2005. Pernikahan
Beda Agama; Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan, Jakarta:
Komnas HAM.
Daud
Ali ,Mohammad.1997.Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Isson Khairul, 2008. Menikah dengan
Ahli Kitab (Anggun,)
Katsir Ibnu, 1997.Tafsir
al-Qur’an al-Azhim. 1/582
Riyadh : Dar Thayyibah
M.
Ali Hasan. 1997.Masail Fiqhiyah
Al-Haditsah, Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Maulana
Muhammad Ali, 1993. Quran suci:
teks arab terjemah dan tafsir bahasa indonesia, alih bahasa Bchrun, Cet6, (Jakarta: Darul Kutbil Islamiyah.
Rasjid, Sulaiman.
2010. Fiqh
Islam, Bandung : Sinar
Baru Algensindo
Sabiq As-Sayyid, 1985. Fiqh as-sunnah,juz
2, Beirut :Dar al-Kitab al ‘Arabi.
Yusuf
Qardlawi Syekh Muhammad.1976. Halal
dan Haram dalam Islam, Bangil: PT.
Bina Ilmu.
Zuhdi ,Masjfuk.1997. Masail Fiqiyah ,Jakarta
: PT Toko
Gunung Agung.
Makalah Mata Kuliah Fiqih Munakahat Jinayah (Semester IV)
[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh
Islam, ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010), hlm. 374
[2] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, Pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 1-2.
[3] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1997), h. 55
[4](on line) http://planetplaza.blogspot.com/2012/04/pernikahan-beda-agama-dalam-perspektif.html (Diakses Sabtu
14 Maret 2014 pukul 22.05)
[5] Ahmad Baso & Ahmad Nurcholis (editors). Pernikahan Beda
Agama; Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan (Jakarta: Komnas
HAM, 2005), hlm.7.
[6] Syekh Muhammad Yusuf Qardlawi, Halal dan Haram dalam Islam
(Bangil: PT. Bina Ilmu, 1976), hlm.252.
[7] As-Sayyid Sabiq,Fiqh as-sunnah,juz
2, (Beirut :Dar al-Kitab al ‘Arabi,1985) hlm, 105-106
[8] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqiyah (Jakarta : PT Toko Gunung Agung, 1997), hlm.7-8
[9](http://www.academia.edu/3563359/Makalah_Hukum_Islam_Tentang_Perbedaan_Agama?Login=&Email_Was_Taken=True (Diakses Minggu,15 Maret 2015 pukul 13.07)
[10] [402] Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka.
[11] Isson Khairul, Menikah dengan Ahli Kitab (Anggun, 2008),
hlm. 82.
[12] [402] Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka.
[13] M. Ali Hasan, Loc.Cit., hlm. 11-13.
[14] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim. 1/582 (Riyadh : Dar
Thayyibah, 1997).
[15](on line ) https://www.facebook.com/notes/von-edison-alouisci/hukum-islam-dalam-pernikahan-beda agama/235443739805678 (Diakses Rabu,10 Maret 2015 pukul 21.29)
[16] M. Ali Hasan, Loc.Cit., hlm 7-10.
[17] Op.Cit, Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqiyah ………….. hlm.9-10 .
[18] Maulana Muhammad Ali, Quran suci: teks arab terjemah dan tafsir
bahasa indonesia, alih bahasa Bchrun, Cet6, (Jakarta: Darul Kutbil
Islamiyah, 1993), 7-8.
[19] (on line ) http://eduside.blogspot.com/2013/07/makalah-perkawinan-beda-agama.
html#sthash. 3npuBYIi.dpuf (Diakses Rabu,18 Maret
2015 pukul 22.03)
Komentar
Posting Komentar