Model Kurikulum 2013 VS Konsep Pendidikan di Muhammadiyah
Sudah bukan hal
baru, bahwa wacana akan diberlakukannya Kurikulum 2013 menimbulkan pro kontra.
Kurikulum yang rencananya launching Juli mendatang ini
disinyalir belum akurat dan belum mampu mengakomodasi tujuan pendidikan yang
sesungguhnya. Berbagai media telah lantang menyuarakan dan memprediksi bahwa
wacana akan diberlakukannya kurikulum baru ini hanya akan menambah huru-hara
dan menimbulkan kesibukan banal yang tidak substansial. Mengapa? Apa yang salah
dalam kurikulum kita hingga Muhammad Nuh dan orang-orang Kemendikbud bersikukuh
mengganti kurikulum yang sudah ada dengan kurikulum 2013?
Sebelum masuk
pada konsep pendidikan Muhammadiyah, terlebih dahulu saya akan uraikan polemik
terkini tentang wacana akan diluncurkannya Kurikulum 2013. Perdebatan menyoal
Kurikulum 2013 sudah berlangsung dimana-mana. Kumunitas Mahasiswa Filsafat UI
(Komafil) pada 27 Maret lalu juga mengadakan diskusi tentang Kurikulum 2013.
Tak tanggung-tanggung, Komafil mendatangkan Kepala Bidang Kurikulum dan
Perbukuan Pendidikan Menangah Kemendikbud, Dr. Herry Widyastono, sebagai
pembicara. Pembicara lainnya adalah Rocky Gerung, dosen Metodologi Peneletian
Filsafat, dan Dr. Fuad Abdillah, dosen Filsafat Pendidikan. Diskusi tersebut
berlangsung di Auditorium Gedung I FIB UI.
Herry Widyasono
menegaskan bahwa landasan hukum perubahan Kurikulum 2013 adalah Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 – 2014 di bidang pendidikan dan
Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2010. Kurikulum yang berlaku sebelumnya
dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Kurikulum perlu diganti
dan disempurnakan demi penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberi keleluasaan guru di lapangan
untuk mendesain silabusnya di tingkat sekolah dianggap gagal dilaksanakan.
Indikator kegagalannya adalah, ditemukannya praktik salin-tempel (copy-paste)
antarguru di berbagai sekolah. Praktik tersebut terjadi di beberapa sekolah
Islam yang mengcopy-paste RPP sekolah non-Islam. Terdapat pula
CD-CD berisi RPP yang beredar bebas dikalangan sekolah-sekolah sehingga mudah
ditiru metode penyusunan RPP-nya. Bagi Kemendikbud, hal ini menjadi tidak
relevan dengan tujuan Kemendikbud yang ingin memberi kewenangan kepada para
pengajar untuk menyusun RPP secara kreatif mandiri, karena justru berujung pada
penyalahgunaan.
Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) juga dinilai gagal karena tidak berhasil menjadikan
peserta didik memiliki kompetensi untuk mengkonversi materi yang mereka dapat
di sekolah ke kehidupan sehari-hari. Herry memberi contoh sederhana: Lampu lalu
lintas kuning berarti kita harus hati-hati dan mengurangi kecepatan berkendara
karena sebentar lagi lampu merah akan menyala. Tetapi yang terjadi sebaliknya,
ketika mendapati lampu kuning menyala, justru kita lebih kuat menancap gas agar
kita terhindar dari lampu merah. Contoh ini merepresentasikan bahwa kita
memiliki pengetahuan tentang disiplin lalu lintas, tetapi kita tidak kompeten
mengimplementasikannya ketika berhadapan dengan situasi yang sesungguhnya.
Berangkat dari persoalan-persoalan semacam itu,
Kemendikbud mencoba menggagas Kurikulum 2013 sebagai solusi. Berbeda dengan KBK
dan KTSP, Kurikulum 2013 telah mempersiapkan silabus dan buku paket bagi para
siswa. Literasi dari pemerintah bersifat baku dan wajib. Sekolah-sekolah boleh
mengimprovisasi, namun tidak boleh mengurangi konten yang ingin disampaikan
oleh pemerintah. Singkatnya, Kemendikbud mencipta gagasan yang bersifat Top-Down.
Menurut Herry, kurikulum kita selama ini memuat terlalu banyak aspek kognitif
dan kurang menekankan pentingnya domain afektif serta psikomotorik. Terjadinya
praktik tawuran pelajar, kekerasan seksual, korupsi, juga penyakit sosial
lainnya adalah dampak jangka pajang dari kesalahan kurikulum kita.
Teori dan
argumentasi pendukung Kemendikbud tentang urgensi perubahan kurikulum dan draft
Kurikulum 2013 selengkapnya dapat kita download di link ini:
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2012/11/28/kurikulum-2013-dimana-posisi-bimbingan-dan-konseling/).
Yang menarik bagi saya adalah, wacana kemendikbud yang ingin mengurangi jumlah
mata pelajaran tertentu dan menggantinya dengan menambah jam mata pelajaran
yang lain. Salah satu materi pelajaran yang akan dihilangkan adalah Teknologi
Informasi dan Komputer (TIK). Banyak daerah di Indonesia yang belum
terjamah listrik menjadi alasannya. Pemerintah tidak ingin membebani sekolah-sekolah
yang belum bisa menyediakan sarana dan prasarana pelajaran TIK. Ini menjadi
sangat lucu! Alasan lain pengurangan materi tersebut adalah ketidaksesuaian
usia perkembangan anak dengan beban materi yang diajarkan. Materi siswa SD
berkurang hingga 40% sedangkan SMP-SMA berkurang sekitar 20%. Pengurangan
materi tersebut ternyata dibayar dengan penambahan materi pelajaran lain.
Pelajaran bahasa Inggris yang semula dialokasikan empat jam semingu, pada
Kurikulum 2013 akan menjadi dua jam, sementara pelajaran Agama yang awalnya dua
jam seminggu akan menjadi empat jam.
Gagasan
tersebut justru dinilai tidak solutif oleh Rocky dan Fuad. Seluruh peserta
diskusipun ikut terheran-heran dengan cara berpikir Kemendikbud menyoal
Kurikulum 2013. Rocky Gerung menganggap kurikulum sebagai DNA kebudayaan yang
berfungsi mereplikasi diri dalam rangka memahami masa depan. Persoalan
filosofis yang harus diemban oleh kurikulum adalah kemampuan kurikulum untuk
mempersiapkan diri menghadapi masa depan, bukan terjebak pada romantisisme dan
gagasan-gagasan primordial masa lalu. Ia merumuskan empat indikator masa depan:
1) Speed-ism; segala sesuatunya menuntut kecepatan, 2) High
finance capitalism; transaksi ekonomi yang foot-loose, 3) Bioethics;
konflik moral, 4) Space technology. Maka, apakah kurikulum 2013
sudah mampu menjawab tantangan masa depan, dalam arti sudah mampu mengakomodasi
tantangan zaman abad 21 ini? Apakah akademisi yang juga lantang menolak
Kurikulum 2013 memahami masa depan?
Menurut Rocky Gerung, masa depan kita tidak
lagi berada 3000 tahun cahaya dari ilmu pengetahuan. Masa depan kita berada 3
cm di depan metodologi. Rocky mengutip kalimat Thomas Hobes: Acta
exteriora indicant interiora secreta, yang artinya, Yang
diperlihatkan dimaksudkan untuk menyembunyikan yang ada di dalam. Sebagaimana
sifat biologis bawang, persoalan Kurikulum 2013 jika dikupas terus-menerus akan
sulit ditemukan inti-patinya. Ketika kita membuka satu kulit banwang, kita akan
menemui kulit yang lain. Ketika kita mengelupas kulit berikutnya, yang akan kita
temui masih saja kulit yang lain. Begitu seterusnya, hanya kulit yang akan kita
temui. Lalu dimana letak inti-patinya? Bahwa Kurikulum 2013 bersifat ideologis.
Ia menyembunyikan cara pikir tertentu yang hendak disampaikan kepada bangsa ini
melalui mekanisme kurikulum. Pembentukan karakter yang berulang kali dipaparkan
dalam dreaft Kurikulum 2013 sesungguhnya mengacu pada pembentukan moral
religius yang megarah pada dogma tertentu. Mekanisme semacam itu bukan mencipta
solusi, namun justru menimbulkan persoalan baru bagi negara kita yang majemuk
dan plural.
Menurut hemat
saya, kurikulum merupakan konsep dasar yang dirumuskan sedemikian rupa untuk
membentuk karakter peserta didik (termasuk komponen karakter kepribadian
bangsa). Membentuk adalah kata kerja, ada subjek yang ingin membentuk, ada
objek yang sengaja dibentuk. Sederhananya, penggagas kurikulum itu subjek,
peserta didik itu objek. Kalau kita boleh meminjam inti kajian fenomenologi
sebagai metafor, maka kurikulum itu intensionalitas: suatu prinsip fundamental
yang sangat penting sebagai penyedia akses utama antara subjek (penggagas) dan
objek (peserta didik). Singkatnya, intensionalitas memungkinkan terjadinya
relasi dependensi antara subjek dengan objek. Dengan berjalannya mekanisme itu,
tujuan negara di bidang pendidikan dimungkinkan dapat berjalan. Tujuan
kurikulum pendidikan kita selalu merupakan representasi tujuan negara dibidang
pendidikan: “Mencerdaskan kehidupan bangsa.” (frasa yang sudah biasa kita
dengar). Dengan tidak mengabaikan pro dan kontra atas segera diberlakukannya
kurikulum 2013 ini, saya mencoba menanggapinya secara positif. Saya tidak mau
mencampuri urusan KPK yang berkewajiban memantau pengelolaan anggaran
pendidikan yang melonjak menggila dari Rp 684 miliar jadi Rp 2,49 triliun itu.
Memang secara teknis launching kurikulum ini butuh biaya dan
banyak printilan seperti penerbitan buku, ongkos pelatihan guru, bayar trainer
dan tutor, pengadaan alat pendukung, distribusi, dan lain-lain. Yang teknis
semacam ini, sebagai suatu event adalah kewajaran, asal
implementasinya jujur dan terbuka serta tidak korup. Tetapi ini Indonesia, agak
sulit rasanya kita dengar ‘proyek’ tanpa korup. Menteri tidak korup, bisa jadi
mandornya yang korup. Mandor tidak korup, bisa jadi kurirnya yang korup. Kurir
tidak korup, kepala sekolahnya yang korup. Begitu seterusnya.
Konten
kurikulum baru ini mengedepankan sisi religiusitas manusia Indonesia sesuai
konteks sejarah dan jalan pikiran mayoritas masyarakat Indonesia. Kompetensi
inti dan kompetensi dasar yang dibahas dibagian paling pertama adalah
pendidikan agama. Artinya, pemerintah meletakkan dasar moral-religius sebagai
basis utama dalam membentuk kepribadian bangsa sebelum basis intelektual. Bab
sains, ilmu sosial-humaniora, dan keterampilan berbahasa diletakkan sesudahnya.
IPA/IPS/Bahasa belakangan dimunculkan sebagai kompetensi dasar peminatan
peserta didik. Struktur semacam ini bukan suatu ketidaksengajaan atau
serialitas semata. Pengedepanan sisi religius merepresentasikan kondisi bangsa
kita dewasa ini yang memang didominasi ajaran agama. Kalau yang demikian itu
adalah benar-benar karakter bangsa kita, bagi saya, pembentukan karakter
semacam itu tidak menjadi persoalan, asal kita tidak tertinggal dibidang sains
dan pengetahuan lainnya. Kita butuh generasi kritis yang harus dapat
berkontribusi terhadap kemajuan bangsa, entah itu lewat teori atau tindakan
nyata. Akan tetapi, mengingat kondisi bangsa kita yang kian majemuk memang
selayaknya kurikulum kita tidak boleh didominasi satu paradigma saja. Dalam konteks
negara yang berlaku umum, kita membutuhkan kurikulum terintegrasi yang mampu
mengakomodasi berbagai kepentingan positif berbagai kalangan. Karakter jati
diri bangsa kita pun sesungguhnya adalah sesuatu yang terus menerus kita cari
dan bukan sesuatu yang final. Konsekuensinya, pemerintah tidak bisa dengan
seenaknya melakukan suatu penyelundupan ideologi melalui penyusunan kurikulum
baru.
Mempertimbangkan
adanya polemik dan pro kontra atas Kurikulum 2013, bukanlah hal yang salah jika
kita menilik konsep pendidikan Muhammadiyah. Tentu akan berbeda sikap kita
ketika kita melihat wacana Kurikulum 2013 tersebut dari perspektif
Muhammadiyah. Setidaknya, Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang besar di
Indonesia sudah memiliki kejelasan ideologi, yakni Islam sebagai landasan
utama. Bagi Muhammadiyah, amal usaha di bidang pendidikan merupakan upaya yang
paling strategis untuk mewujudkan kemajuan umat dan bangsa dalam perspektif
Islam. Lembaga pendidikan Muhammadiyah telah eksis lebih dari seabad, dari
1911-2013. Kemampuan survive lembaga pendidikan Muhammadiyah
tidak dapat dilepaskan dari model pendidikan Muhammadiyah yang didasarkan pada
nilai-nilai berikut:
1. Pendidikan Muhammadiyah
diselenggarakan merujuk pada nilai-nilai yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Ruhul ikhlas untuk mencari
ridha Allah SWT, menjadi dasar inspirasi dalam ikhtiar mendirikan dan
menjalankan amal usaha di bidang pendidikan.
3. Menerapkan prinsip
kerjasama (musyarokah) dengan tetap memelihara sikap kritis, baik pada
masa Hindia Belanda, Dai Nippon (Jepang), Orde Lama Orde Baru, hingga masa
sekarang ini.
4. Memelihara prinsip
pembaruan (tajdid) dalam menjalankan amal usaha di bidang pendidikan.
5. Memiliki kultur memihak
pada kaum yang mengalami kesengsaraan (dhuafadan mustadh’afin)
dengan melakukan proses-proses kreatif.
6. Memperhatikan dan
menjalankan prinsip keseimbangan (tawasuth atau moderat) dalam
mengelola lembaga pendidikan antara akal sehat dan kesucian hati.
Nilai-nilai
tersebut menunjukkan adanya kejelasan paradigma Muhammadiyah dalam mengelola
amal usahannya di bidang pendidikan. Nilai-nilai dalam pendidikan Muhammadiyah
dengan mudah dapat kita terima, karena basisnya jelas, pangsa pasarnya jelas,
tujuannya jelas. Berbeda dengan Muhammadiyah, target pemerintah lebih luas.
Objeknya lebih majemuk dan lebih plural. Kurikulum yang dirumuskan pemerintah
harus dapat mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat dengan diferensiasi
kepentingan masing-masing. Inilah sebenarnya yang menjadi inti persoalan:
Bagaimana lembaga pemerintah yang bersifat umum mampu menentukan tujuan dan
kurikulum pendidikan dengan tidak menyelundupkan ideologi tertentu demi tetap
menjaga persatuan dan kesatuan negara.
*Referensi
- Diskusi Litbang Komafil UI 27 Maret 2013
- Draft Kurikulum 2013, Kompetensi Dasar
SD/SMP/SMA
- Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad
Muhammadiyah (umm.ac.id)
Komentar
Posting Komentar