HADIS TENTANG SYARAT – SYARAT SHOLAT DAN PENALARANNYA
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sholat [1]
Secara etimologi shalat berarti do’a
dan secara terminology/ istilah, para ahli fiqih mengartikan secara lahir dan
hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah
kepada Allah menurut syarat – syarat yang telah ditentukan.
Adapun secara hakikinya ialah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara
yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa
kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya” atau “mendahirkan hajat dan
keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan
atau dengan kedua – duanya” .
Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara
hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang di dalamnya merupakan amalan
yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan
takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan
rukun yang telah ditentukan syara’ (Imam Bashari Assayuthi, 30)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah
merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan denga perbuatan yang diawali
dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah
ditentukan syara”. Juga shalat merupakan penyerahan diri (lahir dan bathin)
kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-Nya.
Pada Dasarnya sholat telah dianggap benar dan sah selama syarat dan
rukunnya telah terpenuhi. Allah tidaklah mempersulit hamba-Nya . Hanya saja
semakin luas pengetahuan seseorang
tentang sholat , akan semakin sempurnalah ibadah sholatnya itu jika ilmunya diamalkan.
Menurut kita safiah an-Najah, ibadah sholat sudah sah jika syarat dan
rukunnya telah terpenuhi. [2]
B.
Hadits penjelasan terkait
sholat, bab Syarat sah Sholat
Syarat itu menurut pengertian logat (bahasa)
berarti tanda. Sebagaimana Allah berfirman :[3]
( ôs)sù uä!%y` $ygèÛ#uõ°r&
“........ Sesungguhnya telah datang tanda-tandanya”. (Q.S. Muhammad: 18).
Menurut kata fuqaha’/ulama, bahwa syarat itu adalah
sesuatu yang tidak akan ada karena tidak adanya syarat itu.
Para ulama
membagi syarat shalat menjadi dua macam, pertama syarat wajib, dan
yang ke dua syarat sah. Syarat wajib adalah syarat yang
menyebabkan seseorang wajib melaksanakan shalat. Sedangkan syarat sah adalah
syarat yang menjadikan shalat seseorang diterima secara syara’ di samping adanya
kriteria lain seperti rukun.[4]
1.
Hukum Menutup Aurat dalam sholat
عَنْ عَائِشَةَ رَظِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال : لاَيَقْبَلُ اللهُ صَلاَ ةَ حَائِضٍ الِاَّ بِخِمَارٍ
“ Dari Aisyah r.a. (katanya) : bahwasanya Rasulullaah
SAW. telah bersabda : Allah tidak akan menerima sembahyang wanita yang sudah
baligh kecuali dengan memakai kerudung. “
(H.R. Al Khamsah kecuali An Nasa’iy, dan dinilai shahih
oleh Ibnu Khuzaimah).
(1) Penalaran
Hadits tersebut diriwayatkan oleh perawi yang
lima (al khamsah) yaitu : Ahmad, Abu Daud, At Turmudzi, dan Ibnu Majah, kecuali
An Nasa’iy dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah. Hadits ini diriwayatkan juga
oleh Ahmad dan Al Hakim, tetapi dinilai cacat oleh Ad Daraquthniy, karena
hadits Mauquf; dan Al Hakim menilainya cacat juga karena hadits Mursal.
Adapun yang dimaksudkan perempuan yang haid
dalam hadits ini adalah perempuan yang sudah mukallafah (baligh) karena sudah
bermimpi misalnya. Hanya saja perawinya mengungkapkannya dengan istilah haid,
karena memperhatikan gejala umum bagi tanda baligh perempuan yaitu dengan
haidnya. Sembahyangnya tidak diterima kecuali dengan kerudung. Yaitu dengan
memakai sesuatu tutup kepala dan leher.
At Thobraniy dalam kitabnya “As Shagir” dan
“Al Ausah” dan Abu Qatadah dengan lafal : “Allah tidak akan menerima sembahyang
seseorang wanita hingga dia menutup perhiasannya dan tidak akan menerima
sembahyang anak perempuan yang sudah baligh hingga dia memakai kerudung. Maksud
dari tidak menerima dalam hadits ini adalah tidak sah dan tidak dibalas.
Terkadang diungkapkan tidak menerima secara umum dan dimaksudkan ibadahnya
tidak mendapat pahala. Maka apabila beliau menyatakan bahwa Allah tidak
menerima sembahyang, maka berarti tidak mendapat pahala itu, bukan tidak sah
sembahyangnya. Sebagaimana tertera dalam keterangan di dalam sebuah hadits
(yang artinya) : sesungguhnya Allah tidak akan menerima sembahyang seorang
(hamba) yang tidak patuh (lari) dari tuannya, dan tidak menerima sembahyang
orang yang di kuduknya tidak tertutup kerudung.
Kami telah menjelaskan di dalam kitab
“Risalatul Isbah wa Hawasyiy Syarhul ‘umdah” bahwa pengertian kalimat “Allah
tidak menerima sembahyangnya itu” berarti tidak sah sembahyangnya.
Mengenai sabdanya “kecuali dengan kerudung itu”
menunjukkan wajib atas wanita menutupi kepalanya, dan semacamnya, dari bagian
badan yang dapat dijangkau oleh kerudung itu. Akan ada penjelasan di dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ummu Salamah tentang sembahyang
seorang wanita dengan memakai baju besi dan kerudung, tanpa memakai sarung dan
dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda : (yang artinya) : “apabila baju besi
itu panjang yang dapat menutupi punggung kedua kakinya (maka boleh dipakai
untuk sembahyang).
(2) Kesimpulan Hadis
Hadits tersebut menunjukkan keharusan dalam
sembahyangnya (wanita) itu, untuk menutupi kuduknya dan kepalanya, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits tentang kerudung diatas; juga menunjukkan keharusan
bagi perempuan untuk menutupi bagian badan lain termasuk kedua kainya,
sebagaimana telah dijelaskan oleh hadits dari Ummu Salamah itu, dan boleh
perempuan membuka mukanya karena tidak ada dalil yang menyuruh menutupnya.
Maksud kebolehan membuka muka sewaktu sembahyang itu adalah sekiranya tidak
dapat dilihat oleh orang yang bukan mahramnya. Maka selain itulah batas aurat
orang perempuan dalam sembahyang.
Adapun aurat wanita ditinjau dari pandangan
laki-laki bukan mahramnya, maka sekujur badannya adalah aurat, sebagaimana
nanti akan dijelaskan pada hakikat wanita. Penjelasan perbedaan pendapat
tentang hal itu bukan tempatnya disini, karena perempuan itu mempunyai batas
aurat dalam sembahyang dan batas aurat dalam pandangan laki-laki yang bukan
mahramnya. Pembicaraan disini hanya
terbatas auratnya yang pertama (aurat di dalam sembahyangnya); sedang tentang
aurat yang kedua akan dijelaskan di tempatnya sendiri. Jadi Memakai kerudung
bagi perempuan ( menutup aurat ) merupakan syarat sahnya sholat [6]
b) Hadis kedua
عَنْ جَابِرٍرَضِيَ اللهُ عَنْهُ
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ : اِذَاكَانَ الثَوْ
بُ وَاسِعًا فَا لْتَحِفْ بِهِ يَعْنِ فِالصَّلاَ ةِ. وَلِمُسْلِمٍ فَخَا لِفْ
بَيْنَ طَرَ فَيْهِ, وَاِنْ كَا نَ ضَيِّقًا فَا تَزِرْ بِهِ
“ Dari Jabir
r.a. (katanya) : bahwasanya Nabi bersabda kepadanya : apabila kain itu lebar
(longgar), maka berkerudunglah dengannya. (yang Beliau maksudkan ialah dalam
sembahyang). Menurut riwayat Muslim : maka selempangkanlah antara kedua
ujungnya, dan jika sempit, maka jadikanlah sebagai sarung saja (bersarunglah)
dengannya”. (Muttafaq ‘Alaih).
(1) Penalaran
Pengertian kata “iltahif atau iltihaf”
(berselimut) itu dengan pengertian dijadikan mantel, yaitu sebagiannya
dijadikan sarung dan bagian lain kain itu dijadikan selendang.
Kata “yang beliau maksudkan sembahyang” itu
jelas terselip kata perawi (yang berarti hadits Mudraj). Dengan penjelasan itu,
dibatasi keumuman hadits itu, karena berdasarkan kisahnya. Bahwa di dalam
serita itu, Jabir mengatakan : saya mendatangi Nabi SAW. sedang Beliau
sembahyang dan saya memakai kain yang saya selimutkan pada badan dan saya
sembahyang di sampingnya. Setelah selesai sembahyangnya, lalu Nabi SAW.
bersabda kepada saya; apa yang dijadikan selimut ini ?, saya menjawab: kain.
Beliau bersabda lagi : jika kain itu lebar, maka jadikanlah mantel dan jka
sempit, maka jadikanlah sarung saja.
Hadits tersebut, memberikan pengertian bahwa
bla kain itu lebar/luas, maka hendaklah dijadikan mantel sebagian setelah
dijadikan sarung. Dan jika sempit, maka jadikanlah sarung untuk menutup aurat
dengannya. Aurat laki-laki itu ialah mulai dari bagian bawah pusat hingga lutut
berdasarkan pendapat yang paling terkenal.
وَلَهُمَا مِنْ حَدِ يْثٍ اَ بِى
هُرَيْرَ تَ رَضِيَ ا للهُ عَنْهُ لاَ يُصَلِّ اَحَدُكُمْ فِ الشَّوْبِ اْلوَاحِدِ
لَيْسَ عَلى عَا تِقِفِ مِنْهُ شَيْئٌ
“Dan menurut
riwayat Al Bukhariy dan Muslim dari hadits Abu Hurairah r.a. : tidak boleh
seseorang dari kamu sembahyang dengan memakai selembar kain yang tidak ada
diatas bahunya sedikitpun dari padanya.”
Ketidak bolehan itu ialah sekiranya kain itu lebar sebagaimana yang
ditunjukkan oleh hadits pertama di atas. Dan maksudnya ialah tidak boleh
dijadikan sarung di tengahnya dan mengikat dua
pinggir kain itu pada badan, akan tetapi
diselempangkan dengannya pada bahu, sehingga bisa menutupi bagian atas badan.
(2) Kesimpulan Hadis
Jumhur ulama menafsirkan larangan dalam hadits
ini untuk pengertian penyucian saja dan juga menafsirkan pengertian perintah
pada hadits yang menyuruh jadikan sebagai mantel dengan hukum sunnah saja. Dan
Ahmad menafsirkan hukum wajib dan tidak sah sembahyang atas orang yang mampu
melakukannya jika dia tinggalkan. Di dalam salah satu riwayat dari Ahmad,
beliau mengatakan : sah sembahyang tetapi berdosa, sehingga dia menetapkan
hukumnya menurut riwayat pertama yang mensyaratkan penutupan bagian atas badan,
dan menurut riwayat yang kedua yang mewajibkannya.
Al Khathobiy mengemukakan : dalil bagi jumhur
ulama yang mengatakan sunnah itu adalah karena Nabi SAW. pernah sembahyang
dengan memakai satu kain yang salah satu dari pinggir kain itu dipakai oleh
salah seorang isterinya yang sedang tidur. Padahal sudah maklum (diketahui)
bahwa bagian kain yang beliau pakai itu tidak cukup untuk dijadikan sebagi
sarung dan dilemparkan di atas bahu sebagiannya.
Menurut saya dapat dijelaskan pendapat Ahmad
di atas bahwa yang dimaksudkan oleh Ahmad dengan tidak sah sembahyang bagi yang
membuat kain sebagai mantel itu, bukanlah berarti tidak sah secara mutlak dan
bukan pula berdosa secara mutlak, karena mungkin saja pada saat itu orang itu
tidak mampu selain pakaian yang dipakainya itu, padahal dia terpaksa harus
sembahyang pada waktu itu. Kenyataan keadaannya, bahwa sebagian kain dipakai
oleh orang lain yang masih tidur (seperti peristiwa Nabi SAW. diatas) merupakan
bukti Beliau tidak mampu mendapatkan kain pada saat itu.
عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّهَا
سَاَ لَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَتُصَلِّىْ اْ لمَرْ أَةُ
فِ دِرْ عٍ وَخَماِ رٍ بِغَيْرِاِزَارٍ ؟ قَالَ اِذَاكَانَ الدِّرْ عُ سَا بِغًايُ
غَطِّى ظى ظُهُوْ رَ قَدَ مَيْهَا
“ Daru Ummu Salamah r.a. sesungguhnya dia pernah bertanya kepada Nabi SAW.
: bolehkah orang perempuan sembahyang dengan memakai baju panjang saja dengan
kerudung tanpa sarung ? Beliau menjawab : Boleh apabila baju panjang itu lebar
yang dapat menutupi panggung kedua kakinya.” (H.R. Abu Daud, tetapi para ulama
membenarkan kemauqufannya).
Kata “sa’igan) itu berarti wa-si’an (lebar atau luas). Hadits ini sudah
dijelaskan lebih dahulu pengertiannya. Hadits ini setingkat dengan hadits
marfu’ sekalipan dinyatakan mauquf. Hadits itu memang telah diriwayatkan oleh
Malik dan Abu Daud dengan mauquf dan lafalnya dari Muhammad bin Zaid bin
Qunfudz dari ibunya itu pernah bertanya kepada Ummu Salamah : kain apa yang
dipakai wanita untuk sembahyang ? Dia menjawab : Wanita dapat sembahyang dengan
hanya memakai kerudung dan baju (rok) yang panjang lagi lebar, sekiranya bisa
menutupi bagian punggung kedua kakinya.
2. Hukum mengucapkan salam dalam sholat
a)
Hadis Pertama
عَنْ زَيْدِ بْنِ اَرْقَمَ رَضِيَ ا للهُ عَنْهُ اَنَّهُ قاَلَ :
اِنَّأ كُنَّا لَنَتَكَلَّمُ فِى الصَّلاَ ةِعَل عَهْدِ رَسُوْ لِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَلِّمُ أَحَدُ نَا صَا حِبَهُ بِحَاجَتِهِ حَتَّ نَزّ لَتْ
: حَا فِضُوْا عَلَى ا لصَّلَوتِ وَالصَّلَوةِ اْلوُ سْطى وَ قُوْ مُوْ ا ِللهِ
قَا نِتِيْنَ . فَ أُمِرْ ناَباِلسُّكُوْ تِ وَنُهِينَا عَنِ اْلكَلاَ مِ
“ Dari Zaid bin Arqam r.a., katanya : Sesungguhnya kami pernah berbicara
dalam sholat pada masa Rasulullah SAW. Salah seorang dari kami membicarakan
kepada temannya tentang keperluannya, sehingga turun ayat : Peliharalah semua
sholat itu dan sholat yang tengah dan berdirilah karena Allah dengan tenang (al
Baqarah: 238). Sejak itu kami diperintahkan diam dan kami dilarang berbicara.( HR. Muttafaq ‘alaih). (Dan lafal ini menurut Muslim).
(1) Penalaran
Adapun yang dimaksud dengan berbicara di dalam
hadits tersebut ialah sesuatu yang mengharuskan berbicara, seperti menjawab
salam, dan semacamnya, bukan berarti mereka berbicara seperti orang-orang yang
sedang bergaul biasa sebagaimana ditunjukkan di dalam ucapannya : salah seorang
diantara kami membicarakan kepadanya temannya tentang kebutuhannya, sehingga
turun ayat (dalam surat al Baqarah ayat 238, yang artinya); peliharalah
sholat-sholat itu dan sholat yang tengah yaitu sembahyang ashar.......,
menurut kebanyakan pendapat ulama dan hal itu diakui sudah merupakan
ijma’ulama. Dan berdirilah karena Allah dengan tenang. Lalu sejak itu kami
diperintahkan untuk diam dan kami dilarang berbicara. Hadits ini diriwayatkan
oleh Al Bukhari dan Muslim (Muttafaq ‘alaih) dan matan tersebut, menurut
redaksi Muslim.
(2)
Kesimpulan Hadis
An
Nawawiy di dalam “Syarah Muslim” mengatakan: di dalam hadits itu terkandung
dalil yang menunjukkan haram semua pembicaraan manusia di dalam sembahyang.
Para ulama telah sepakat bahwa orang yang berbicara di dalam sembahyang dengan
sengaja lagi mengetahui haramnya bukan untuk kemaslahatan sembahyang itu adalah
membatalkan sembahyang. Terdapat perbedaan pendapat tentang “kemaslahatan
sembahyang” itu, dan mengenai perbedaan itu akan dijelaskan di dalam bab sujud
sahwi di dalam syarah hadits dari Dzul Yadain. Sahabat memahami perintah untuk
diam itu berdasarkan perintah untuk berdiri dengan tenang itu, karena diam itu
adalah salah satu pengertian kata tenang (qa-nitin) itu. Kata itu mempunyai
sebelas pengertian yang terkenal. Akan tetapi seakan-akan mengambil khusus
pengertian diam ini berdasarkan kaitan/hubungan kalimat atau berdasarkan
penafsiran dari Rasulullah SAW. sendiri terhadap mereka.
Hadits
itu dibahas dalam beberapa pembahasan sebagaimana telah kami kemukakan di dalam
kitab “Hawasyiy Syahril ‘Umdah”. Jika orang yang sembahyang itu terpaksa
mengingatkan orang lain, maka agama juga telah membolehkannya dengan macam
lafal tertentu.
b)
Hadis
Kedua
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. كَانَ لىِ مِنْ رَسُوْلِ
ا للهِ ص و مَدْخَلاَنِ فَكُنْتُ اِذَاّتَيْتُهُ وَ هُوَ يُصَلِّىْ تَنَحْنَحَلِى
“ Dari ‘Ali
r.a., katanya : Biasanya saya mempunyai dua waktu untuk menghadap Nabi SAW.
Biasanya bila saya mendatangi Beliau sedang Beliau sembahyang, maka Beliau
berdehem buat saya.”
(H.R. An Nasa’iy dan Ibnu Majah).
(1) Penalaran dan kesimpulan
Hadits tersebut dinilai shahih oleh Ibnu As
Sukni. Ada yang diriwayatkan dengan lafal “sabbaha” (bertasbih), sebagai ganti
berdehem itu hadits tersebut. Sebagai dalil yang menunjukkan bahwa dehem itu,
tidak membatalkan sembahyang. Ulama yang berpendapat demikian itu adalah : An
Nashir dan Asy Syafi’iy, karena berpegang pada hadits ini. Menurut ulama Al
Hadawiyah (Syi’ah) bahwa dehem itu membatalkan sembahyang bila dua huruf atau
lebih, karena disamakannya dengan berbicara yang membatalkan sembahyang itu dan
mereka mengatakan bahwa hadits ini Muthorib. Akan tetapi sebagaimana telah
dijelaskan diatas bahwa hadits tersebut dinilai shahih oleh Ibnu Sukni dan
riwayat yang mengatakan Beliau bertasbih sebagai ganti dehem itu adalah lemah,
karena itu tidak dapat dikatakan hadits Muthorib. Dengan penegertian bahwa Nabi
SAW. sekali waktu dehem dan pada kali yang lain bertasbih.
c) Hadis ketiga
عَنْ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهٌ عَنْهُ قَالَ :
قُلْتُ لِبِلَا لٍ كَيْفَ رَ اَيْتَ النَّنِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِيْنَ يُسَلِّمُوْنَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّى ؟ قَالَ يَقُوْ
لُ : هكَذَا وَبَسَطَ كَفَّهُ.
"
Dari Ibnu Umar r.a., katanya : saya pernah menanyakan Bilal, bagaimana
engkau melihat cara Nabi SAW. menjawab salam mereka, sewaktu mereka memberi
salam kepada Beliau dalam keadaan sedang sembahyang ? Bilal menjawab : begini
sambil membuka telapak tangannya. " (H.R. Abu Daud dan At Turmudziy
dan dia menilainya shohih).
(1) Penalaran
Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Ahmad,
An Nasa’iy dan Ibnu Majah. Asal hadits itu ialah bahwa pernah Nabi SAW. keluar
menuju Quba. Beliau sembahyang disana, lalu saya bertanya kepada Bilal :
Bagaimana engkau melihat hingga akhir haits itu. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al
Hakim meriwayatkannya juga dari Ibnu Umar bahwa Ibnu Umar pernah menanyakan
Suhaib tentang hal itu. At Turmudiy mengatakan bahwa kedua hadits tersebut
sama-sama shahihnya.
Hadits tersebut sebagai dalil yang menunjukkan
bahwa apabila seseorang memberi salam kepada orang yang sedang sembahyang, maka
boleh orang yang sedang sembahyang itu menjawabnya dengan isyarat, bukan dengan
ucapan.
Muslim telah meriwayatkan dari Jabir : Bahwa
Rasulullah SAW. pernah mengutusnya untuk satu keperluan, kemudian saya menenmui
Beliau dalam keadaan sedang sembahyang, saya beri salam pada Beliau lalu
memberi isyarat kepada saya. Tatkala telah selesai sembahyangnya, maka Beliau
memanggil saya seraya bersabda : engkau telah memberi salam kepadaku, lalu
Beliau minta maaf kepadanya karena Beliau hanya menjawabnya dengan isyarat itu.
Hadits dari Ibnu Ma’sud (yang mengatakan) bahwa dia pernah memberi salam
kepada Nabi SAW. sedang Beliau sedang sembahyang, dan Beliau tidak menjawabnya
dan tidak memberi isyarat, akan tetapi Beliau mengatakan setelah selesai
sembahyangnya : bahwa dalam sembahyang itu sibuk. Hanya saya Al Baihaqiy
menyebutkan di dalam haditsnya : bahwa Nabi SAW. memberi isyarat dengan menganggukkan
kepala kepadanya.
Para ulama berselisih pendapat tentang menjawab salam dalam sembahyang itu
terhadap orang yang memberi salam kepada orang yang sedang sembahyang.
Sekelompok ulama memberi salam kepada orang yang sedang sembahyang. Sekelompok
ulama mengatakan : bahwa dia boleh menjawabnya dengan ucapan
“wa’alaikumussalam”. Sekelompok ulama lainnya mengatakan : boleh dia
menjawabnya seusai sembahyang. Sekelompok lagi berpendapat : dia menjawabnya
dengan isyarat sesuai dengan pengertian hadits tersebut. Pendapat terakhir inilah
yang lebih dekat dengan kebenaran, berdasarkan dalil hadits tersebut. Sedangkan
pendapat yang lain semuanya tanpa dalil.
Ada ulama yang mengatakan bahwa menjawab dengan isyarat itupun, hukumnya
sunnah saja dengan alasan bahwa Beliau tidak menjawab salam Ibnu Mas’ud
sebagaimana telah dijelaskan diatas, akan tetapi Beliau mengatakan bahwa dalam
sembahyang itu sibuk. Menurut saya, sesuai dengan keterangan dalam riwayat Al
Baihaqiy itu, bahwa Beliau menjawab salam Ibnu Mas’ud itu dengan menganggukkan
kepalanya, kemudian Beliau meminta maaf karena tidak dapat menjawabnya dengan
ucapan. Setelah diharamkan bicara dalam sembahyang, maka Beliau menjawabnya
dengan isyarat.
Kemudian Beliau memberitahukannya, bahwa Allah menetapkan cara baru dalam
masalah itu, yaitu mereka tidak boleh berbicara di dalam sembahyang. Betapa
menjawab salam dengan ucapan, padahal Nabi sudah menjelaskan, bahwa Allah telah
menetapkan cara baru dalam cara memberi salam itu, setelah Beliau tidak bisa
menjawab salam Ibnu Mas’ud dengan ucapan, karena Allah telah melarangnya
berbicara di dalam sembahyang.
Pendapat yang mengatakan bahwa barang siapa yang memberi salam kepada orang
yang sedang sembahyang, tidak wajib menjawabnya dengan isyarat dan ucapan. Maka
pendapat tersebut, dibantah dengan sendirinya dengan isyarat Nabi SAW. terhadap
orang Anshor dan sebagaimana dalam riwayat Jabir diatas. Seandainya tidak boleh
mereka menjawab, maka Nabi SAW. sudah menjelaskannya kepada mereka tentang hal
itu dan Beliau sendiri tidak menjawabnya dengan isyarat.
Adapun mengenai cara isyaratnya itu, maka di dalam kitab “Musnad” dari
hadits Suhaib, katanya : saya pernah melalui Nabi SAW. yang sedang sembahyang,
saya memberi salam kepadanya, lalu Beliau menjawabnya dengan isyarat dengan
jari tangannya. Di dalam hadits dari Ibnu Umar terdapat penjelasan tentang cara
Nabi SAW. memberi isyarat terhadap orang Anshor bahwa nabi SAW. bersabda :
begini; Ja’far bin ‘Aun, perawi hadits dari Ibnu Umar tersebut, menirukannya
dengan membuka telapak tangannya, tapak tangan di bawah dan punggungnya diatas.
(2)
Kesimpulan Hadist
Berdasarkan keterangan itu, maka wajib orang
yang sembahyang itu menjawab salam dengan isyarat baik dengan menganggukkan
kepala atau dengan tangannya atau dengan jari tangannya. Nabi SAW. pernah
mengalami kesulitan untuk menjawabnya, maka Beliau tetap menjawabnya dengan
cara yang mungkin dan cara yang mungkin itu ialah dengan isyarat, dan Agama
telah menetapkannya cara demikian dan sahabatpun menamainya jawaban salam
dengan isyarat; Ini termasuk di dalam pengertian firman Allah ; (yang artinya)
atau kembalikan atau jawablah (an-Nisa’ : 86).
Adapun hadits dari Abu Hurairah r.a. yang mngatakan bahwa
Nabi SAW. pernah bersabda: Barang siapa yang memberi isyarat di dalam
sembahyang yang dapat dipahami, maka hendaklah dia sembahyang ulang, yang
diriwayatkan oleh Ad Daraquthniy itu, maka itu adalah hadits Bathil karena
hadits tersebut diriwayatkan ojuga oleh Abu Ghathfan dari Abu Hurairah, padahal
Abu Ghathfan itu adalah orang yang tidak dikenal.
3. Hukum menegur imam yang salah dalam sholat
a) Hadis Pertama
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ اْحَكَمِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ
هذِهِ الصَّلاَ ةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْئٌ مِنْ كَلاَ مِ النَّا سِ اِنَّمَا
هُوَالتَّسْبِيْحُ وَتَّكَبِيْرُ وَقِرَاءَةُاْ لقُرْآنِ
"Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam r.a. katanya : Rasulullah SAW. bersabda : Sesungguhnya sembahyang ini
tidak baik di dalamnya sedikitpun dari perkataan manusia Ia hanya tasbih,
takbir dan bacaan Al-Qur’an."
(H.R. Muslim)
(1)
Penalaran
Hadits tersebut mempunyai sebab timbulnya
(asbabul wurud) yaitu bahwa pernah salah seorang bersin sewaktu sembahyangnya,
lalu Mu’awiyah mendoakannya, padahal dia sedang sembahyang juga. Orang yang
berada di sampingnya menegurnya, karena dia mengetahui adanya larangan
berbicara dalam sembahyang dan melaporkannya kepada Nabi SAW. kemudian Nabi
SAW. bersabda kepadanya dengan mengucapkan hadits tersebut. Hadits ini diriwayatkan
dalam beberapa lafal.
Adapun yang dimaksudkan dengan tidak baik dalam hadits itu
ialah tidak sah sembahyangnya. Yang termasuk bicara disini ialah berbicara
sendiri atau bercakap-cakap dengan orang lain, sebagaimana jelas menurut
asbabul wurudnya itu. Jadi hadits tersebut menujukkan bahwa orang yang
berbicara dalam sembahyang membatalkan sembahyangnya itu, baik untuk
memperbaiki sembahyang atau untuk tujuan lainnya. Apabila ingin untuk
mengingatkan orang, maka nanti akan ada hadits yang menjelaskan cara-caranya.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa pembicaraan orang yang belum mengerti bahwa
itu membatalkan sembahyang, tidak membatalkan sembahyang, karena ada udzur atau
alasan kebodohannya itu. Ini berdasarkan kenyataan bahwa Nabi SAW. tidak
menyuruh Mu’awiyah untuk sembahyang ulang. Sabdanya bahwa ucapan yang diizinkan
dalam sembahyang atau yang baik diucapkan itu hanyalah tasbih, takbir, dan
bacaan Al Qur’an, yakni hanya itulah yang diajarkan.
عَنْ اَبِى هُرَ يَرَةَ رَ ضِيَ الّلهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الّلهِ صَلَّ الّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَتَّسْبِيْحُ
لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيْقُ لِلنِّسآءِ[7]
“ Dari Abu Hurairah r.a. katanya : Rasulullah
SAW. bersabda : Tasbih bagi laki-laki dan tepuk tangan bagi wanita."
(HR. Muttafaq ‘alaih) dan Muslim
menambahkan di dalam sembahyang).
Dan itulah yang dimaksudkan di dalam susuna kalimat itu, meskipun tidak
disebutkan di dalam sembahyang.Hadits tersebut sebagai dalil yang menunjukkan
bahwa disyari’atkan bagi orang yang akan mengingatkan kekeliruan imam di dalam
sembahyang atau untuk mengingatkan orang yang lewat atau orang yang
menginginkan dari padanya sesuatu perkara dan dia tidak mengerti bahwa orang
itu sedang sembahyang, maka hendaklah dia mengingatkannya bahwa dia sedang
sembahyang dengan cara sebagai berikut.
(2) Kesimpulan Hadis
Jika dia laki-laki, maka hendaklah dia mengucapkan “subhanallah” (Maha Suci
Allah). Hadits ini tertera dalam riwayat Al Bukhariy dengan lafal itu dan
berlaku umum. Jika yang sembahyang itu perempuan, maka hendaklah dia
mengingatkan dengan cara menepuk tangan. Caranya ialah sebagaimana kata ‘Isa
bin Ayyub, dia menepukkan dua jari tangannya pada telapak tangannya yang kiri.
Ulama yang berpendapat sesuai dengan hadits itu ialah jumhur ulama. Dan
sebagian ulama ada yang menjelaskan caranya tanpa dalil. Kata sebagian ulama
itu : jika cara itu untuk tujuan untuk mengingatkan yang lupa dalam sholat itu,
maka tidak membatalkan sholatnya. Dan jika untuk tujuan lain selain itu, maka
membatalkan sholatnya. Walaupun untuk mengingatkan imam. Pendapat mereka itu
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari sabda Rasullah SAW.
kepada ‘Ali (yang artinya) : Wahai ‘Ali, janganlah kamu mengingatkan imam dalam
sholat. Alasan itu dibantah, bahwa Abu Daud menilai dlo’if hadits tersebut
setelah Beliau meriwayatkannya. Hadits bab ini tetap dalam pengertian yang
umum. Caranya menegur itu tidak diketahui kecuali berdasarkan dalil.Kemudian
hadits itu tidak menunjukkan kewajiban tasbih sebagai peringatan dan tidak juga
mewajibkan menepuk tangan, karena dalam matan hadits tersebut tidak ada
perintah. Hanya saja terdapat kalimat perintah itu dalam riwayat Abu Daud
sebagai berikut :
أِذَا نَا بَكُمْ اَمْرٌ فَلْيُسَبِّحِ الرِّ جاَلُ
وَلْتُصَفِّقِ النِّسَا ءُ _
" Apabila ada sesuatu perkara jika hendaklah yang laki-laki
bertasbih dan yang wanita hendaklah menepuk tangan. Ulama berbeda pendapatnya."
Menurut pensyarah kitab “At Taqrib” yang telah dinyatakan oleh
sahabat-sahabat kita diantaranya : Ar Rafi’iy dan An Nawawiy mengatakan bahwa
bertasbih mengingatkan yang lupa dalam sholat itu, hukumnya : sunnah dan dia meriwayatkannya
dari beberapa sahabat. Kemudian setelah itu dia mengatakan : yang benar, bahwa
mengingatkan orang dalam sholat itu, hukumnya macam-macam, ada yang wajib,
sunnah, dan mubah sesuai dengan situasi dan kondisi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologi shalat berarti do’a
dan secara terminology/ istilah, para ahli fiqih mengartikan secara lahir dan
hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah
kepada Allah menurut syarat – syarat yang telah ditentukan
Shalat
merupakan kewajiban setiap muslim,karena hal ini di syariatkan oleh Allah SWT.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai prakteknya, hal ini tidak menjadi
masalah karena di dalam al-qur'an sendiri tidak ada ayat yang menjelaskan
secara terperinci mengenai praktek shalat. Namun didalam sholat juga harus memperhatikan syarat sah dan wajibnya
sholat beserta rukun yang menyertainya.
Diantara syarat sah yang
kami bahas adalah mengenai menutup aurat dan juga mengingatkan imam yang salah
pada saat sholat . Yakni mengenai Hadits menutup aurat tersebut menunjukkan keharusan dalam
sembahyangnya (wanita) itu, untuk menutupi kuduknya dan kepalanya boleh perempuan
sembahyang dengan memakai baju panjang saja apabila baju panjang itu lebar yang
dapat menutupi panggung kedua kakinya.
Dalam sholat juga diharamkan berbicara, Para ulama telah sepakat
bahwa orang yang berbicara di dalam sembahyang dengan sengaja lagi mengetahui
haramnya bukan untuk kemaslahatan sembahyang itu adalah membatalkan sembahyang.
Jika ada yang mengucapkan salam maka cukup dengan memberikan isyarat saja
dengan membuka telapak tangan saja
Namun lain halnya pada saat mengingatkan imam yang salah pada waktu sholat
untuk laki – laki mengucapkan tasbih dan untuk perempuan menepuk tangannya .
sebagian ulama ada yang mengatakan hukumnya sunnah saja tergantung situasi dan
kondisinya.
B. Saran
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca terutama pada dosen mata kuiah hadis ahkam, agar dapat pembuatan
makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Atas kritik dan saranya, penulis
ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Arfan, 2011. Fiqh Ibadah
Praktis Perspektif Perbandingan Mazhab Fiqh,
Malang: Uin Maliki Press
Hajar Al – Asqalany Ibnu, 1998.Bulughul Maram ,
Beirut : Khazanah PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI
http://www.masuk-islam.com/pengertian-sholat-rukun-sholat-syarat-wajib-dan-syarat-sah-sholat.html )Diakses Minggu 28 September 2014 pukl 01 . 04)
Maksum Syukron, 2013. AWAS ! Tidak semua sholat
diterima Allah , Jakarta : Mutiara
Media
Malik Abu Kamal , 2013. Fiqih Sunnah Wanita, Jakarta
: Griya Ilmu
Mardani , 2012 . Hadis Ahkam , Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
Mudjab
Ahmad M. 2003 . Hadis – Hadis Ahkam , (Jakarta : PT Raja Grafindo )
Rasjid, Sulaiman , 2013. Fiqh Islam , Bandung
: Sinar Baru Algendindo
[1]Abbas
Arfan, Fiqh Ibadah Praktis Perspektif Perbandingan Mazhab Fiqh, (Malang:
Uin Maliki Press, 2011), hal 62
[2] Syukron Maksum, AWAS ! Tidak semua sholat
diterima Allah , ( Jakarta : Mutiara Media, 2013) hlm.31
[4]http://www.masuk-islam.com/pengertian-sholat-rukun-sholat-syarat-wajib-dan-syarat-sah-sholat.html )Diakses Minggu 28 September 2014 pukul 01 .
04)
[6]Mardani ,Hadis Ahkam , ( Jakarta :
PT.Raja Grafindo Persada ,2012 ) Hlm . 95
[7] Ibnu Hajar Al – Asqalany,Bulughul Maram (
Beirut : Khazanah PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI, 1998 ) hlm.102