PENDIDIKAN HOLISTIK
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Pendidikan Holistik?
2.
Bagaimana Sejarah
Pendidikan Holistik?
3.
Apa saja tujuan Pendidikan Holistik ?
4.
Apakah Urgensi
Pendidikan Holistik?
5.
Bagaimana Karakteristik Paradigma Pendidikan Holistik?
6.
Bagaimana Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan Holistik?
7.
Bagaiamana Aplikasi Pendidikan
Holistik dalam proses pembelajaran ?
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendidikan Holistik
Istilah holistik merupakan sebuah persitilahan yang berasal
dari bahasa Inggris dari akar kata “whole” yang berarti
keseluruhan.[1]
Dengan pengambilan makna dasar seperti ini, menurut Husein
Heriyanto[2] paradigma
holistik dapat diartikan sebagai suatu cara pandang yang menyeluruh
dalam mempersepsi realitas. Berpandangan holistik artinya lebih
memandang aspek keseluruhan daripada bagian-bagian,
bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, non-mekanik, dan
non-linier. Di samping
itu, istilah holistik juga diambil dari kata dasar heal (penyembuhan)
dan health (kesehatan). Secara etimologis memiliki akar kata
yang sama dengan istilah whole (keseluruhan).
Kamus
Besar Bahasa Indonesia membagi pengertian holistik menjadi dua macam. Pertama, sebagai sebuah
paham, holistik adalah “cara pendekatan terhadap suatu masalah atau gejala, dengan memandang masalah atau gejala itu
sebagai suatu kesatuan yang utuh.” Kedua,
sebagai sebuah sifat, maka holistik “berhubungan dengan sistem keseluruhan sebagai suatu kesatuan lebih daripada
sekadar kumpulan bagian.”[3]
Hall dan Lindzey, dalam Supratiknya,
memberikan definisi holistik sebagai “semua teori yang menekankan pandangan
bahwa manusia merupakan suatu organisme yang utuh atau padu dan bahwa tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan semata-mata berdasarkan
aktivitas bagian-bagiannya”.[4]
Seperti dinyatakan oleh Akhmad Sudrajat sebagai
berikut: Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat
dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas,
makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam,
dan nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang dan perdamaian.[5]
Definisi pendidikan holistik lainnya
dikemukakan oleh para sarjana muslim pada Konferensi Dunia Pertama tentang
Pendidikan Islam, yang menyatakan bahwa: Pendidikan harus bertujuan
mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang
melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan, dan
indera. Karena itu, pendidikan harus
mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya:
spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif,
dan mendorong semua aspek ini ke arah
kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir
pendidikan Muslim terletak dalam perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.[6]
Hal ini mengindikasikan
bahwa berpikir holistik berarti berpikir sehat. Dalam ranah pendidikan,
pendidikan holistik merupakan suatu metode pendidikan yang membangun manusia
secara keseluruhan dan utuh dengan mengembangkan semua potensi manusia yang
mencakup potensi sosial-emosi, potensi intelektual, potensi moral
atau karakter, kreatifitas, dan spiritual. Tujuan pendidikan holistik
adalah untuk
membentuk manusia holistik. Manusia holistik
adalah manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya.
Potensi yang ada dalam diri manusia meliputi potensi akademik,
potensi fisik, potensi sosial, potensi kreatif, potensi emosi dan potensi
spiritual.[7] Manusia yang mampu mengembangkan
seluruh potensinya merupakan manusia yang holistik, yaitu manusia pembelajar
sejati yang selalu menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah system
kehidupan yang luas, sehingga selalu ingin memberikan kontribusi positif kepada
lingkungan hidupnya.[8] Tujuan pendidikan di Indonesia yang tertuang
pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 adalah untuk membentuk manusia yang holistik dan
berkarakter.[9]
Manusia holistik dan berkarakter merupakan social capital bagi
perkembangan suatu bangsa.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan holistik
berpijak pada tiga
prinsip, yaitu:[10]
- Connectedness
Connectedness adalah
konsep interkoneksi yang berasal dari filosofi
holisme yang kemudian berkembang menjadi konsep ekologi,
fisika kuantum dan teori sistem.
- Wholeness
Keseluruhan
(wholeness) bukan sekedar penjumlahan dari setiap bagiannya. Sistem wholeness bersifat dinamis sehingga tidak bias dideduksi hanya dengan mempelajari setiap
komponennya.
- Being
Menjadi
(being) adalah tentang merasakan sepenuhnya
kekinian. Hal ini berkaitan
dengan kedalaman jiwa, kebijaksanaan (wisdom), wawasan (insight),
kejujuran, dan keotentikan.
Berdasarkan pengertian paradigma sebelumnya dan pengertian holistik
di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma pendidikan holistic adalah
cara memandang pendidikan yang menyeluruh bukan merupakan bagian-bagian
yang parsial, terbatas, dan kaku. Pendidikan holistic menurut
Jeremy Henzell-Thomas merupakan suatu upaya membangun secara
utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran,
yang mencakup spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya,
estetika, emosi dan fisik yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut
ke arah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan
Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan di dunia.
B.
Sejarah Pendidikan Holistik
Lahirnya pendidikan holistik sejatinya adalah
merupakan suatu respon yang bijaksana atas ekologi, budaya, dan tantangan
moral pada abad ini, yang bertujuan untuk mendorong para kaum muda
sebagai generasi penerus untuk dapat hidup dengan bijaksana dan
bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang saling pengertian dan
secara berkelanjutan ikut serta berperan dalam pembangunan
masyarakat. Persoalan ekologi, budaya, dan tantangan moral pada abad
ini itu tentu tidak bisa dipisahkan dari persoalan dan kegagalan paradigma
Cartesian- Newtonian dalam menjawab berbagai tantangan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini serta berbagai
problema krusial yang diakibatkannya.
Secara historis, paradigma pendidikan holistik
sebetulnya bukan hal yang baru. Ada banyak tokoh klasik perintis pendidikan
holistik, diantaranya: Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson
Alcott, Johan Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Beberapa
tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik,
adalah Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey,
John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner,
Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul
Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.[11] Pemikiran
dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistic sempat
tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada
tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali
kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Gerakan itu
muncul sebagai akibat dari keprihatinan terhadap krisis ekologis, dampak
nuklir, polusi kimia, dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya masyarakat
tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional serta institusinya. Kemajuan
yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan
Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California
pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society
dan The National Center for the
Exploration of Human Potential.
Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan
holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan
sebutan 3R’s, akronim dari relationship, responsibility, dan reverence.
Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3R’s ini lebih
diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau
di Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis dan
berhitung).[12] Akhir-akhir
ini gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya
model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya
sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Muncul konsep
atau teori yang berbasis kuantum dalam dunia pendidikan yang
akhir-akhir ini dikenal dengan istilah model quantum teaching
and learning, axelerated learning, Integrated Learning, emotional
intelegent, spiritual intelegent, dan
sebagainya. Semua itu adalah merupakan konsekuensi dari upaya untuk menjawab dan ketidakpuasan
dengan konsep dan teori-teori pendidikan yang berlandaskan paradigma
Cartesian-Newtonian.
C.
Tujuan Pendidikan Holistik
Pendidikan seharusnya menjadi wahana strategis bagi upaya mengembangkan
segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun manusia
Indonesia seutuhnya dapat tercapai.[13] Pendidikan
holistik membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana
pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan
humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi
dirinya sendiri. Dalam arti, para siswa dapat memperoleh kebebasan
psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang
sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat
mengembangkan karakter dan emosionalnya.
Oleh karena itu,
upaya pendidikan holistic tidak lain adalah untuk membangun secara utuh dan
seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran, yang mencakup
spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya, estetika, emosi dan fisik
yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut ke arah pencapaian sebuah
kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari
semua kehidupan di dunia.[14] Pada saat ini banyak model pendidikan yang berdasarkan pandangan
abad ke 19 yang menekankan pada (belajar terkotak-kotak), linier
thinking (bukan sistem) dan (fisik yang
utama), yang membuat siswa sulit untuk memahami relevance dan value
antara yang dipelajari disekolah dengan kehidupannya. Oleh karena itu, dibutuhkan
system pendidikan yang terpusat pada anak yang dibangun
berdasarkan asumsi connectedness, wholeness,
dan being fully human.
Untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, maka
kurikulum yang dirancang harus diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan
manusia holistik. Termasuk di dalamnya membentuk anak menjadi
pembelajar sejati, yang senantiasa berpikir holistik, bahwa segala
sesuatu adalah saling terkait atau berhubungan. Beberapa pendekatan
pembelajaran yang dianggap efektif untuk menjadikan manusia pembelajar sejati
di antaranya adalah pendekatan siswa belajar aktif, pendekatan yang merangsang
daya minat anak atau rasa keingintahuan anak, pendekatan belajar
bersama dalam kelompok, kurikulum terintegrasi, dan lain-lain.[15]
D.
Urgensi Pendidikan Holistik
Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat
dalam hidup itu terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia
yang handal dan berbudaya. Oleh karena itu perlu implementasi
penyelenggaraan pendidikan holistik secara baik. Beberapa hal yang mendapat
penekanan lebih dalam menerapkan model pendidikan karakter. Pertama, Knowing the
good. Untuk membentuk karakter, anak tidak
hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat
memahami kenapa perlu melakukan hal tersebut. Selama ini banyak orang yang
tahu bahwa ini baik dan itu buruk, namun mereka tidak tahu apa
alasannya melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik.
Jadi masih ada gap antara knowing dan acting. Pendidikan holistik tidak
membatasi pada tiga ranah Bloomian (yaitu ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik) saja, tetapi menuntut untuk memperhatikan seluruh
kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek
intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual.
Istilah
pendidikan holistik muncul dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Standar Proses untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam peraturan tersebut, holistik didefinisikan sebagai “cara memandang segala
sesuatu sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dengan bagian lain yang lebih luas.”23 Dengan diakomodirnya istilah holistik dalam
Permendiknas, maka semakin
menunjukkan betapa pentingnya konsep pendidikan holistik untuk diterapkan dalam sistem pendidikan nasional di
Indonesia.
Pilihan pada paradigm pendidikan
holistik ini tentu dapat dipandang sejalan dengan pandangan dunia
pendidikan Islam. Pandangan
pendidikan Islam adalah:
1. Manusia sebagai subjek dan objek
pendidikan, yang pada intinya adalah makhluk yang paling sempurna dan
istemewa (fi> ah}sani taqwi>m) yang sudah tentu tidak bisa disamakan dengan hewan dan makhluk
lainnya. Dalam Surah al-Tien (95) : 4 dinyatakan:
لَقَدۡ
خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤
4. sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
Bentuk
yang sebaik-baiknya tersebut, menurut Ibnu Thufail, merupakan ketiga aspek
fundamental dalam pendidikan, yaitu ranah kognitif (al-’aqliyyah),
afektif (al-khuluqiyyah al-ruhaniyyah), maupun psikomotorik (al-’amaliyyah).
Ketiganya merupakan syarat utama bagi tercapainya tujuan pendidikan yaitu
mewujudkan manusia seutuhnya dengan memadukan pengetahuan alam melalui penelitian
diskursif, dan pengetahuan agama yang berdasarkan wahyu melalui para Nabi dan
Rasul, sehingga mewujudkan sosok yang mampu menyeimbangkan kehidupan vertikal
dan kehidupan horizontal sekaligus.[16]
2. Keunikan manusia itu ditandai dengan
potensi yang dimiliki oleh manusia yang terdapat dalam dua dimensi,
yaitu dimensi material (jasad) dan dimensi immaterial (nafs, `aql, qalb, dan ruh}), sebagaimana
firman Allah,
ذَٰلِكَ عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ
وَٱلشَّهَٰدَةِ ٱلۡعَزِيزُ ٱلرَّحِيمُ ٦ ٱلَّذِيٓ أَحۡسَنَ كُلَّ
شَيۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَٰنِ مِن طِينٖ ٧ ثُمَّ جَعَلَ نَسۡلَهُۥ مِن
سُلَٰلَةٖ مِّن مَّآءٖ مَّهِينٖ ٨ ثُمَّ
سَوَّىٰهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِۦۖ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ
وَٱلۡأَفِۡٔدَةَۚ قَلِيلٗا مَّا تَشۡكُرُونَ ٩ [سورة السجدة,٦-٩]
6. Yang demikian itu ialah Tuhan Yang mengetahui
yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang
7. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah
8. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina
9. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur
[As Sajdah,6-9]
3. Manusia diciptakan (mempunyai fitrah),
sebagaimana dalam al- Qur’an;
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا
تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ
لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠ [سورة
الروم,٣٠]
30.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui
[Ar
Rum30]
Dalam mengembangkan potensi fitrah itu, manusia dipengaruhi
oleh lingkungan. Sebagaimana juga dalam hadis yang diriwayatkan
oleh al- Bukhari dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw. bersabda,
“Setiap
anak manusia dilahirkan atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya, Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)
4. Manusia di samping memliki keunggulan
sekaligus juga memiliki kelemahan-kelemahan, sebagaimana dalam al-Qur’an,
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن
يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا ٢٨ [سورة النساء,٢٨]
28. Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan
bersifat lemah
[An Nisa"28]
Berdasarkan kondisi manusia
itulah, maka pendidikan berperan menguatkan atau mendidik segenap potensi yang
dimiliki (secara holistik) (keunggulan) manusia sampai ia mampu mendidik
dirinya sendiri (dewasa/mukallaf) sehingga penyelewengan dari fitrahnya akibat
keterbatasan/kelemahannya itu dapat dihindari. Arah
pendidikan holistik ini juga sejalan dengan Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Bab II pasal 3 yang secara tegas
dinyatakan bahwa pendidikan di Indonesia: “...berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak … serta bertanggung jawab”. Pada
bagian lain dinyatakan bahwa:
a) Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.
b) Pendidikan diselenggarakan sebagai
satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna.
c) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu
proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat. Dari berbagai gambaran tentang kondisi dan berbagai persoalan
yang dihadapi oleh paradigm Cartesian-Newtonian dewasa ini serta berbagai
kondisi dan tuntutan saat ini, khususnya di dunia pendidikan, maka
kehadiran dan pilihan pada paradigma holistik adalah merupakan
sebuah keniscayaan.
E.
Karakteristik Paradigma Pendidikan Holistik
Belajar hakekatnya adalah suatu proses yang ditandai
dengan adanya perubahan pada diri seseorang, perubahan sabagai hasil dari
proses belajar dapat diindikasikan dalam bebagai bentuk seperti berubah
pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, kecakapan, keterampilan dan
kemampuan serta perubahan aspek-aspek yang lain yang ada pada individu yang
belajar.
Seperti yang
dikemukakan oleh George J. Mouly dalam bukunya bahwa belajar adalah perubahan
tingkah laku seseoran berkat adanya pengalaman. Pendapat senada disampaikan
oleh kimble dan Garmezi yang menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah
laku yang relative permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Sedangkan
Garry dan Kingsley menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah
laku yang orisinal melalui pengalaman dan latihan-latihan.
Dengan demikian,
inti dari belajar adalah adanya perubahan tingkah laku karena adannya suatu
pengalaman. Perubahan tingkah laku tersebut dapat berupa perubahan
keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan, pemahaman dan apresiasi. Adapun
pengalaman dalam proses belajar ialah bentuk interaksi antara individu dengan
lingkungan.
Berlakunya kurikulum 2004 yang bebasis kompetensi yang
menjadi roh bagi berlakunya kurikulum 2006 KTSP menuntut perubahan paradigm
dalam pendidikan dan pembelajaran, khususnya di lembaga pendidikan formal. Perubahan tersebut harus
puladiikuti oleh guru yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pembelajaran
di sekolah (di dalam kelas ataupun di luar kelas).
Salah satu
perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran yang
semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih berpusat pada murid
(student centered); metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori
berganti ke partisipatori; dan pendekatan yang semula lebih banyak
bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan
tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses
maupun basil pendidikan.
Satu inovasi yang
menarik mengiringi perubahan paradigma tersebut adalah ditemukan dan
diterapkannya model Pembelajaran- Holistik. Inovasi yang bermula dari
suatu pandangan pilosofis esensialisme, kemudian berkembang pada berbagai mata
pelajaran atau bidang studi. Apa sesungguhnya praktik belajar ini? Praktik
belajar diartikan sebagai,suatu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk
membantu peserta didik memahami teori/konsep-konsep melalui pengalaman belajar
praktik-empiris. Dalam konteks yang lebih luas, Oleh karma dalam model
pembelajaran ini basil akhirnya adalah assessment (penilaian) yang
bersifat komprehensif, baik dari segi proses maupun produk pada semua aspek
pembelajaran, yaitu aspek kognitif, afektif, maupun psikomototrik.
Karena dari sudut pandang filosofis pendidikan holistik adalah
merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada
dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup
melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Dalam konteks ini, meminjam
formulasi Heriyanto, setidaknya ada dua karateristik
pendidikan holistik yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, paradigma
pendidikan holistik berkaitan dengan pandangan antropologisnya bahwa
subjek merupakan pengertian yang berkorelasi dengan subjek-subjek
lain. Makna subjek dalam paradigma ini jauh berbeda dengan paradigma modern
Cartesian- Newtonian, yaitu tidak terisolasi, tidak tertutup dan tidak
terkungkung, melainkan berinterkoneksi dengan pengada-pengada lain di
alam raya. Kedua, paradigma
pendidikan holistik juga berkarakter realispluralis, kritis-konstruktif,
dan sintesis-dialogis. Pandangan holistik tidak mengambil pola pikir
dikotomis atau binary logic yang memaksa harus memilih
salah satu dan membuang yang lainnya, melainkan dapat menerima
realitas secara plural sebagaimana kekayaan realitas itu sendiri.
Dalam konteks ini sistem pendidikan dibangun
terpusat pada anak berdasarkan asumsi connectedness, wholeness dan being
fully human.
Pendidikan holistik sangat menafikan adanya dikotomi dalam berbagai bentuknya,
seperti dikotomi dunia-akhirat, ilmu umumagama/ ilmu shar’iyyah-ghairu
shar’iyyah, akal-fisik, dan lain-lain.
Keduanya harus ada dan diperhatikan serta
dibangun dalam relasi yang tidak terputus. Pendidikan holistik
membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang
lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan humanis melalui pengalaman
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui
pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi
dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan
psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara
yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan
karakter dan emosionalnya. Jika merujuk pada pemikiran Abraham
Maslow,[17] maka pendidikan harus
dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization)
yang ditandai dengan adanya kesadaran, kejujuran, kebebasan atau
kemandirian, dan kepercayaan.
Dalam konteks ini, Howard Gardner menyebutkan ada
sembilan kecerdasan bagi siswa yang harus dikembangkan dan
mendapat perhatian khusus, yaitu: [18]
1.
Kecerdasan
linguistik kecerdasan untuk membaca, menulis, bercerita, bermain kata dan menjelaskan. Pembentukan ini agar anak kelak berkemampuan
dalam bidang pemberitaan, jurnalistik, berpidato, debat,
percakapan dan lain-lain.
2.
Kecerdasan
logis atau matematis yaitu kecerdasan dalam bereksperimen,
bertanya, memecahkan teka-teki dan berhitung. Pembentukan ini
diarahkan agar anak berhasil dalam bidang matematika, akutansi,
program komputer, perbankan dan lain-lain.
3.
Kecerdasan
spatial atau visual yaitu kecerdasan dalam mendisain, menggambar,
membuat sketsa, menvisualisasikan. Pembentukan kecerdasan ini agar
anak memiliki kemampuan yang baik antara lain membuat peta,
fotografi, melukis, desain rencang bangun dan lainlain.
4.
Kecerdasan
body atau kenestetik yaitu kecerdasan untuk menari, berlari,
membangun, menyentuh, bergerak dan kegiatan fisik lainnya. Pembinaan kecerdasan ini agar anak
cemerlang dalam olah raga, senitari, seni pahat, dan sebagainya.
5.
Kecerdasan musikal adalah kecerdasan
untuk menyanyi, bersiul, bersenandung, menghentak-hentakkan kaki atau tangan,
mendengar bunyi-bunyian. Pembinaan kecerdasan ini diarahkan agar anak mempunyai
kecenderungan ini akan sukses dalam bernyanyi, menggubah lagu, memainkan alat
musik dan lain-lain.
6.
Kecerdasan interpersonal yaitu kecerdasan
untuk memimpin, mengatur, menghubungkan, bekerja sama, berpesta dll. Pembinaan kecerdasan ini agar anak berhasil dalam
pekerjaan seperti guru, pekerja sosial, pemimpin kelompok, organisasi, politik.
7.
Kecerdasan
intrapersonal yaitu kecerdasan untuk suka mengkhayal, berdiam
diri, merencanakan, menetapkan tujuan, refleksi. Pembinaan kecerdasan
ini agar anak cemerlang dalam filsafat, menulis penelitian dan
sebagainya.
8.
Kecerdasan
natural yaitu kecerdasan untuk suka berjalan, berkemah, berhubungan
dengan alam terbuka, tumbuh-tumbuhan, hewan. Pembinaan kecerdasan ini agar anak
dapat menguasai dan menyenangi dengan baik bidang botani, lingkungan hidup,
kedokteran dan lainlain.
9.
Kecerdasan eksistensialis yaitu
kecerdasan untuk suka berfilsafat, suka agama,
kebudayaan dan isu-isu sosial. Pada umumnya mereka berhasil
dalam bidang keagamaan dan psikologi.
F.
Ciri-ciri
Kurikulum Pendidikan Holistik
Pendidikan model holistik sangat menekankan
pendekatan pendidikan yang sangat manusiawi dan utuh. Model ini tidak
sepihak atau tidak sepotong-sepotong; dari aspek otaknya saja, fisiknya
saja, atau dari kerohaniannya saja, karena segala aspek fisik maupun
kejiwaan saling berkaitan dan melengkapi. Dalam implementasinya,
spiritualitas dapat dipadukan secara sinergis dengan religiusitas secara
holistik tanpa perlu mereduksi universalitas dan transendensi dari spiritualitas
itu sendiri.
1. Pembelajaran diarahkan agar siswa
menyadari akan keunikan dirinya dengan segala potensinya. Mereka harus
diajak untuk berhubungan dengan dirinya yang paling dalam (inner self),
sehingga memahami eksistensi, otoritas, tapi sekaligus bergantung sepenuhnya
kepada pencipta-Nya.
2. Pembelajaran tidak hanya mengembangkan
cara berpikir analitis/linier tapi juga intuitif.
3. Pembelajaran berkewajiban
menumbuh-kembangkan potensi kecerdasan jamak (multiple
intelligences).
4. Pembelajaran
berkewajiban menyadarkan siswa tentang keterkaitannya dengan komunitasnya,
sehingga mereka tak boleh mengabaikan tradisi, budaya, kerjasama, hubungan
manusiawi, serta pemenuhan kebutuhan yang tepat guna (jawa: nrimo ing pandum;
anti konsumerisme).
5. Pembelajaran
berkewajiban mengajak siswa untuk menyadari hubungannya dengan bumi dan
"masyarakat" non manusia seperti hewan, tumbuhan, dan benda benda tak
bernyawa (air, udara, tanah) sehingga mereka memiliki kesadaran ekologis.
6. Kurikulum berkewajiban memperhatikan
hubungan antara berbagai pokok bahasan dalam tingkatan trans-disipliner, sehingga
hal itu akan lebih memberi makna kepada siswa.
7. Pembelajaran berkewajiban
menghantarkan siswa untuk menyeimbangkan antara belajar individual
dengan kelompok (kooperatif, kolaboratif, antara isi dengan proses, antara
pengetahuan dengan imajinasi, antara rasional dengan intuisi, antara
kuantitatif dengan kualitatif.
8. Pembelajaran adalah sesuatu yang
tumbuh, menemukan, dan memperluas cakrawala.
9. Pembelajaran adalah sebuah proses
kreatif dan artistik.
Berdasarkan
paparan di atas, maka model pembelajaran Holistik mendasarkan diri (self oriented)
pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut:
a)
Proses Belajar
(1)
Belajar
tidak hanya sekadar menghafal. Siswa harus mengonstruksikan pengetahuan
dibenak mereka sendiri sendiri.
(2)
Anak
belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari
pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
(3)
Para
ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan
mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan.
(4)
Pengetahuan
tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah,
tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
(5)
Manusia
mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
(6)
Siswa
perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
(7)
Proses
belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan
terus seiiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan
seseorang.
b)
Transfer
Belajar
(1)
Siswa
belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
(2)
Keterampilan dan pengetahuan itu
diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit).
(3)
Penting
bagi siswa untuk tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan
pengetahuan dan keterampilan itu.
c)
Siswa scbagai Pembelajar
(1)
Manusia
mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak
mempunyai kecenderunpn untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
(2)
Strategi
belajar itu pcnting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan
tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
(3)
Peran
orang dewasa berperan membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah
diketahui.
(4)
Tugas
guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa
untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk
menerapkan strategi mereka sendiri.
d)
Pentingnya lingkungan belajar.
Belajar efektif itu dimualai dari
lingkungan belajar yang berpusat pada siswa.
(1)
Pengajaran
harus berpusat pada bagaimana siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.
Strategi belajar lebih penting daripada hasilnya.
(2)
Umpan
balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar.
(3)
Menumbuhkan
komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
(4)
Media
pembelajaran harus dirangcang dan dikembangkan untuk memberikan lingkungan yang
interaktif, memotivasi dan menyenangkan.
Bersarkan
kerangka konseptual tersebut, ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada
pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah
dan menyentuh dimensi fisik, kognitif dan jiwa, mental dan emosional anak. Belajar akan lebih bermakna
jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran
yang berorientasi pada penguasaan materi (Rote
Learning) terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi
gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
Model-model
pembelajaran holistik merupakan konsep belajar yang membantu guru untuk
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya denga
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran
diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah
dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer
pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari
pada hasil.
Untuk memabvntu
siswa mamahami konsep-konsep dan memudahkan guru dalam mengajarkan
konsep-konsep tersebut diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang langsung
mengaitkan materi konteks pelajaran dengan pengalaman nyata dalam kehidupan
sehari-hari.
Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal
sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif. Oleh karena itu
strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan
bagaimana orang belajar.
G.
Aplikasi Pendidikan holistik dalam
proses pembelajaran
Pendidikan holistik dapat diaplikasikan dalam
proses pembelajaran dengan menerapkan Integrated Learning
atau pembelajaran terintergrasi/terpadu,
yaitu suatu pembelajaranyang memadukan berbagai materi dalam satu sajian
pembelajaran. Inti pembelajaran ini adalah agar siswa memahami keterkaitan
antara satu materi dengan materi lainnya, antara saru mata pelajaran
dengan mata pelajaran lain. Dari integrated learning inilah
muncul istilah integrated curriculum (kurikulum terintegrasi/terpadu). Karakteristik kurikulum terintegrasi
menurut Lake dalam Megawangi,[20] antara lain; adanya keterkaitan
antar mata pelajaran dengan tema sebagai pusat keterkaitan, menekankan
pada aktivitas kongkret atau nyata, memberikan peluang bagi siswa
untuk bekerja dalam kelompok. Selain memberikan pengalaman untuk
memandang sesuatu dalam perspektif keseluruhan, juga memberikan motivasi
kepada siswa untuk bertanya dan mengetahui lebih lanjut mengenai
materi yang dipelajarinya. Memberi kesempatan kepada siswa untuk
belajar melihat keterkaitan antar mata pelajaran dalam hubungan yang
berarti dan kontekstual bagi kehidupan nyata.
Integrated curriculum atau sering dikenal
dengan istilah interdisciplinary teaching, thematically teaching dan synergetic
teaching member kesempatan kepada siswa untuk belajar melihat keterkaitan
antar mata pelajaran dalam hubungan yang berarti dan kontekstual bagi kehidupan
nyata. Sebagai contoh terdapat dalam kurikulum dengan tema kendaraan yang
memiliki keterjalaan sebagai berikut :
Kurikulum terintegrasi dalam pendidikan holistik juga membuat siswa belajar sesuai dengan gambaran yang sesungguhnya, hal ini karena kurikulum terintegrasi mengajarkan keterkaitan akan segala sesuatu sehingga terbiasa memandang segala sesuatu dalam gambaran yang utuh. Kurikulum terintegrasi dapat memberikan peluang kepada siswa untuk menarik kesimpulan dari berbagai sumber infomasi berbeda mengenai suatu tema, serta dapat memecahkan masalah dengan memperhatikan faktor- faktor berbeda (ditinjau dari berbagai aspek). Selain itu dengan kurikulum terintegrasi, proses belajar menjadi relevan dan kontekstual sehingga berarti bagi siswa dan membuat siswa dapat berpartsipasi aktif sehingga seluruh dimensi manusia terlibat aktif (fisik, social, emosi, akademik).
Kurikulum terintegrasi dalam pendidikan holistik juga membuat siswa belajar sesuai dengan gambaran yang sesungguhnya, hal ini karena kurikulum terintegrasi mengajarkan keterkaitan akan segala sesuatu sehingga terbiasa memandang segala sesuatu dalam gambaran yang utuh. Kurikulum terintegrasi dapat memberikan peluang kepada siswa untuk menarik kesimpulan dari berbagai sumber infomasi berbeda mengenai suatu tema, serta dapat memecahkan masalah dengan memperhatikan faktor- faktor berbeda (ditinjau dari berbagai aspek). Selain itu dengan kurikulum terintegrasi, proses belajar menjadi relevan dan kontekstual sehingga berarti bagi siswa dan membuat siswa dapat berpartsipasi aktif sehingga seluruh dimensi manusia terlibat aktif (fisik, social, emosi, akademik).
BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan
holistik bertujuan membangun atau mengembangkan potensi peserta didik secara
menyeluruh dalam berbagai aspek, seperti Intlektual, emosional, fisik,
arstistik, kreatif, dan spritual. Selain itu Pendidikan Holistik mengarahkan peserta
didik agar menjadi pribadi yang mandiri dan menjadi pembelajar sejati.
Pendekatan holistic sendiri memiliki
berbagai metode dan teknik dalam penerapanya . metode tersebut adalah Belajar melalui keseluruhan bagian otak dan
Belajar melalui kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Sedangkan
teknik yang digunaan dalam pendekat holistic adalah Mengajukan pertanyaan,
Memvisualkan informasi dan Merasakan informasi. Sehingga Pendekatan Holistik tidak melihat manusia dari
aktivitasnya yang terpisah pada bagian-bagian tertentu, namun merupakan mahluk
yang bersifat utuh dan tingkah lakunya tidak dapat dijelaskan
berdasarkan aktivitas bagian-bagiannya. Tidak hanya melalui potensi
intelektualnya saja, namun juga dari potensi spiritual dan emosionalnya
DAFTAR PUSTAKA
(ON LINE) http://www.masdayat.web.id/2009/02/aplikasi-pendidikan-holistik-dalam.html
Diakses Selasa 10 Mei 2016 pukul 8.48
Ashraf Ali, 1989. Horison Baru Pendidikan Islam,
terj. Sori Siregar, (Jakarta: Pustaka Firdaus.
Heriyanto Husain, 2003. Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan
Menurut Shadra dan Whitehead. Bandung: Mizan
Media Utama.
Kemendiknas, Rencana Strategis Departemen Pendidikan
Nasional Tahun 2005 – 2009.Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional
Latifah M.,
2008. Pendidikan Holistik.
Bahan Kuliah Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor.
M. Hadi
Masruri, 2009 “Pendidikan menurut Ibnu Thufail (Perspektif Teori Taxonomy
Bloom)”, dalam M. Zainuddin, dkk.
(eds.), Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Malang Press,
Megawangi Ratna, 2005Pendidikan Holistik. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.
Musfah Jejen, 2012. Pendidikan Holistik: Pendekatan LintasPerspektif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Najib Sulhan, 2006.Pembangunan Karakter
Anak: Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif
.Surabaya: Surabaya Intelektual Club,
Rubiyanto Nanik dan Dani Haryanto, 2010. Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah .Jakarta: Prestasi Pustaka.
Sudrajat
Akhmad, Pendidikan Holistik, dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ 2008/01/26/pendidikan-holistik/, diakses
12 Oktober 2010.
Supratiknya
A. 1993 (ed.), Psikologi Kepribadian 2: Teori-Teori Holistik (Organismik- Fenomenologis), Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, 2005. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed. 3, Cet. 3
[1] Holistic memiliki arti; relating to holism and of concerned with
or dealing with wholes or integrated system rather than with their parts. Noah Webster, Webster`s New Twentieth
Century Dictionary of the
English Language (Buenos
Aires: William Collins Publisher Inc., 1980), hlm,643.
[2] Husain Heriyanto, Paradigma
Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), hlm, 12.
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), Ed. 3, Cet. 3,
hlm. 406
[4] A. Supratiknya (ed.), Psikologi Kepribadian 2:
Teori-Teori Holistik (Organismik-
Fenomenologis), (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 8-9.
[5] Akhmad Sudrajat, Pendidikan Holistik, dalam
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
2008/01/26/pendidikan-holistik/,
diakses 12 Oktober 2010.
[6] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam,
terj. Sori Siregar, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1989), hlm. 107.
[7] Ratna Megawangi, Pendidikan
Holistik (Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation, 2005), hlm, 6-7.
[10] M. Latifah, Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah (Bogor:
Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen. Institut
Pertanian Bogor, 2008), 7-9.
[11] Nanik
Rubiyanto dan Dani Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010),
32.
[12] Jejen Musfah, Pendidikan Holistik: Pendekatan
LintasPerspektif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 40
[13] Kemendiknas,
Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005 – 2009
(Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional) hlm, 74
[14] M. Latifah, Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah (Bogor:
Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen.
Institut Pertanian Bogor, 2008), hlm, 43
[16] M. Hadi Masruri, “Pendidikan menurut Ibnu Thufail
(Perspektif Teori Taxonomy Bloom)”,
dalam M. Zainuddin, dkk. (eds.), Pendidikan Islam dari Paradigma
Klasik Hingga Kontemporer,
(Malang: UIN Malang
Press, 2009), hlm. 187-213.
[17] Ibid. Jujun, Pendidikan Holistik, 42.
[18]Najib Sulhan, Pembangunan
Karakter Anak: Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif (Surabaya: Surabaya
Intelektual Club, 2006), 17-21
[19] Nanik
Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya,
2010), 42-43.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berbicara
masalah pendidikan tak pernah lelah untuk dipublikasikan, karena dengan
pendidikan itulah yang dapat membangun bangsa yang terpuruk dibanding dengan
bangsa-bangsa lain. Setiap orang wajib mengenyam pendidikan paling tidak
pendidikan Sembilan tahun. Hal itu penting demi kepentingan dirinya,
lingkungannya, terlebih-lebih untuk negaranya. Dikatakan demikian karena pada
tahun 2020 akan terjadi globalisasi total. Untuk itulah setiap dari kita perlu
mempersiapkan diri untuk perubahan tersebut.
Pendidikan
tidak hanya ditekankan aspek kognitif saja, yang mana hanya mengandalkan
kecerdasan otak kiri saja, tetapi perlu seimbang dengan aspek-aspek lainya,
seperti afektif dan psikomotorik. Yang mana kesemuanya itu merupakan pendidikan
yang terkait, tidak terkotak-kotak, yang terpadu dan menyeluruh (holistik).
Pendidikan holistik merupakan suatu
filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang
individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya
dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis,
pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Sebuah pembelajaran holistik hanya dapat dilakukan dengan
baik apabila pembelajaran yang akan dilakukan bersifat alami, natural, nyata,
dekat dengan diri anak, dan guru yang melaksanakannya memiliki pemahaman konsep
pembelajaran terpadu dengan baik. Selain itu, juga dibutuhkan kreativitas dan bahan-bahan atau
sumber yang kaya serta pengalaman guru dalam membuat model-model pembelajaran
yang tematis sehingga terasa kebermaknaan dalam
pembelajarannya.
Tujuan pendidikan holistik adalah
membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih
menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik
diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti
dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar
melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta
dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Pendidikan Holistik?
2.
Bagaimana Sejarah
Pendidikan Holistik?
3.
Apa saja tujuan Pendidikan Holistik ?
4.
Apakah Urgensi
Pendidikan Holistik?
5.
Bagaimana Karakteristik Paradigma Pendidikan Holistik?
6.
Bagaimana Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan Holistik?
7.
Bagaiamana Aplikasi Pendidikan
Holistik dalam proses pembelajaran ?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui Pengertian Pendidikan Holistik
2.
Mengetahui BSejarah
Pendidikan Holistik
3.
Mengetahui tujuan Pendidikan Holistik
4.
Mengetahui Urgensi Pendidikan Holistik
5.
Mengetahui Karakteristik Paradigma Pendidikan Holistik
6.
Mengetahui
Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan Holistik
7.
Mengetahui Aplikasi
Pendidikan Holistik dalam proses pembelajaran
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendidikan Holistik
Istilah holistik merupakan sebuah persitilahan yang berasal
dari bahasa Inggris dari akar kata “whole” yang berarti
keseluruhan.[1]
Dengan pengambilan makna dasar seperti ini, menurut Husein
Heriyanto[2] paradigma
holistik dapat diartikan sebagai suatu cara pandang yang menyeluruh
dalam mempersepsi realitas. Berpandangan holistik artinya lebih
memandang aspek keseluruhan daripada bagian-bagian,
bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, non-mekanik, dan
non-linier. Di samping
itu, istilah holistik juga diambil dari kata dasar heal (penyembuhan)
dan health (kesehatan). Secara etimologis memiliki akar kata
yang sama dengan istilah whole (keseluruhan).
Kamus
Besar Bahasa Indonesia membagi pengertian holistik menjadi dua macam. Pertama, sebagai sebuah
paham, holistik adalah “cara pendekatan terhadap suatu masalah atau gejala, dengan memandang masalah atau gejala itu
sebagai suatu kesatuan yang utuh.” Kedua,
sebagai sebuah sifat, maka holistik “berhubungan dengan sistem keseluruhan sebagai suatu kesatuan lebih daripada
sekadar kumpulan bagian.”[3]
Hall dan Lindzey, dalam Supratiknya,
memberikan definisi holistik sebagai “semua teori yang menekankan pandangan
bahwa manusia merupakan suatu organisme yang utuh atau padu dan bahwa tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan semata-mata berdasarkan
aktivitas bagian-bagiannya”.[4]
Seperti dinyatakan oleh Akhmad Sudrajat sebagai
berikut: Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat
dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas,
makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam,
dan nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang dan perdamaian.[5]
Definisi pendidikan holistik lainnya
dikemukakan oleh para sarjana muslim pada Konferensi Dunia Pertama tentang
Pendidikan Islam, yang menyatakan bahwa: Pendidikan harus bertujuan
mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang
melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan, dan
indera. Karena itu, pendidikan harus
mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya:
spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif,
dan mendorong semua aspek ini ke arah
kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir
pendidikan Muslim terletak dalam perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.[6]
Hal ini mengindikasikan
bahwa berpikir holistik berarti berpikir sehat. Dalam ranah pendidikan,
pendidikan holistik merupakan suatu metode pendidikan yang membangun manusia
secara keseluruhan dan utuh dengan mengembangkan semua potensi manusia yang
mencakup potensi sosial-emosi, potensi intelektual, potensi moral
atau karakter, kreatifitas, dan spiritual. Tujuan pendidikan holistik
adalah untuk
membentuk manusia holistik. Manusia holistik
adalah manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya.
Potensi yang ada dalam diri manusia meliputi potensi akademik,
potensi fisik, potensi sosial, potensi kreatif, potensi emosi dan potensi
spiritual.[7] Manusia yang mampu mengembangkan
seluruh potensinya merupakan manusia yang holistik, yaitu manusia pembelajar
sejati yang selalu menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah system
kehidupan yang luas, sehingga selalu ingin memberikan kontribusi positif kepada
lingkungan hidupnya.[8] Tujuan pendidikan di Indonesia yang tertuang
pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 adalah untuk membentuk manusia yang holistik dan
berkarakter.[9]
Manusia holistik dan berkarakter merupakan social capital bagi
perkembangan suatu bangsa.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan holistik
berpijak pada tiga
prinsip, yaitu:[10]
- Connectedness
Connectedness adalah
konsep interkoneksi yang berasal dari filosofi
holisme yang kemudian berkembang menjadi konsep ekologi,
fisika kuantum dan teori sistem.
- Wholeness
Keseluruhan
(wholeness) bukan sekedar penjumlahan dari setiap bagiannya. Sistem wholeness bersifat dinamis sehingga tidak bias dideduksi hanya dengan mempelajari setiap
komponennya.
- Being
Menjadi
(being) adalah tentang merasakan sepenuhnya
kekinian. Hal ini berkaitan
dengan kedalaman jiwa, kebijaksanaan (wisdom), wawasan (insight),
kejujuran, dan keotentikan.
Berdasarkan pengertian paradigma sebelumnya dan pengertian holistik
di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma pendidikan holistic adalah
cara memandang pendidikan yang menyeluruh bukan merupakan bagian-bagian
yang parsial, terbatas, dan kaku. Pendidikan holistic menurut
Jeremy Henzell-Thomas merupakan suatu upaya membangun secara
utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran,
yang mencakup spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya,
estetika, emosi dan fisik yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut
ke arah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan
Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan di dunia.
B.
Sejarah Pendidikan Holistik
Lahirnya pendidikan holistik sejatinya adalah
merupakan suatu respon yang bijaksana atas ekologi, budaya, dan tantangan
moral pada abad ini, yang bertujuan untuk mendorong para kaum muda
sebagai generasi penerus untuk dapat hidup dengan bijaksana dan
bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang saling pengertian dan
secara berkelanjutan ikut serta berperan dalam pembangunan
masyarakat. Persoalan ekologi, budaya, dan tantangan moral pada abad
ini itu tentu tidak bisa dipisahkan dari persoalan dan kegagalan paradigma
Cartesian- Newtonian dalam menjawab berbagai tantangan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini serta berbagai
problema krusial yang diakibatkannya.
Secara historis, paradigma pendidikan holistik
sebetulnya bukan hal yang baru. Ada banyak tokoh klasik perintis pendidikan
holistik, diantaranya: Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson
Alcott, Johan Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Beberapa
tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik,
adalah Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey,
John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner,
Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul
Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.[11] Pemikiran
dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistic sempat
tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada
tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali
kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Gerakan itu
muncul sebagai akibat dari keprihatinan terhadap krisis ekologis, dampak
nuklir, polusi kimia, dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya masyarakat
tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional serta institusinya. Kemajuan
yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan
Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California
pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society
dan The National Center for the
Exploration of Human Potential.
Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan
holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan
sebutan 3R’s, akronim dari relationship, responsibility, dan reverence.
Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3R’s ini lebih
diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau
di Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis dan
berhitung).[12] Akhir-akhir
ini gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya
model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya
sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Muncul konsep
atau teori yang berbasis kuantum dalam dunia pendidikan yang
akhir-akhir ini dikenal dengan istilah model quantum teaching
and learning, axelerated learning, Integrated Learning, emotional
intelegent, spiritual intelegent, dan
sebagainya. Semua itu adalah merupakan konsekuensi dari upaya untuk menjawab dan ketidakpuasan
dengan konsep dan teori-teori pendidikan yang berlandaskan paradigma
Cartesian-Newtonian.
C.
Tujuan Pendidikan Holistik
Pendidikan seharusnya menjadi wahana strategis bagi upaya mengembangkan
segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun manusia
Indonesia seutuhnya dapat tercapai.[13] Pendidikan
holistik membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana
pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan
humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi
dirinya sendiri. Dalam arti, para siswa dapat memperoleh kebebasan
psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang
sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat
mengembangkan karakter dan emosionalnya.
Oleh karena itu,
upaya pendidikan holistic tidak lain adalah untuk membangun secara utuh dan
seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran, yang mencakup
spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya, estetika, emosi dan fisik
yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut ke arah pencapaian sebuah
kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari
semua kehidupan di dunia.[14] Pada saat ini banyak model pendidikan yang berdasarkan pandangan
abad ke 19 yang menekankan pada (belajar terkotak-kotak), linier
thinking (bukan sistem) dan (fisik yang
utama), yang membuat siswa sulit untuk memahami relevance dan value
antara yang dipelajari disekolah dengan kehidupannya. Oleh karena itu, dibutuhkan
system pendidikan yang terpusat pada anak yang dibangun
berdasarkan asumsi connectedness, wholeness,
dan being fully human.
Untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, maka
kurikulum yang dirancang harus diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan
manusia holistik. Termasuk di dalamnya membentuk anak menjadi
pembelajar sejati, yang senantiasa berpikir holistik, bahwa segala
sesuatu adalah saling terkait atau berhubungan. Beberapa pendekatan
pembelajaran yang dianggap efektif untuk menjadikan manusia pembelajar sejati
di antaranya adalah pendekatan siswa belajar aktif, pendekatan yang merangsang
daya minat anak atau rasa keingintahuan anak, pendekatan belajar
bersama dalam kelompok, kurikulum terintegrasi, dan lain-lain.[15]
D.
Urgensi Pendidikan Holistik
Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat
dalam hidup itu terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia
yang handal dan berbudaya. Oleh karena itu perlu implementasi
penyelenggaraan pendidikan holistik secara baik. Beberapa hal yang mendapat
penekanan lebih dalam menerapkan model pendidikan karakter. Pertama, Knowing the
good. Untuk membentuk karakter, anak tidak
hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat
memahami kenapa perlu melakukan hal tersebut. Selama ini banyak orang yang
tahu bahwa ini baik dan itu buruk, namun mereka tidak tahu apa
alasannya melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik.
Jadi masih ada gap antara knowing dan acting. Pendidikan holistik tidak
membatasi pada tiga ranah Bloomian (yaitu ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik) saja, tetapi menuntut untuk memperhatikan seluruh
kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek
intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual.
Istilah
pendidikan holistik muncul dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Standar Proses untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam peraturan tersebut, holistik didefinisikan sebagai “cara memandang segala
sesuatu sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dengan bagian lain yang lebih luas.”23 Dengan diakomodirnya istilah holistik dalam
Permendiknas, maka semakin
menunjukkan betapa pentingnya konsep pendidikan holistik untuk diterapkan dalam sistem pendidikan nasional di
Indonesia.
Pilihan pada paradigm pendidikan
holistik ini tentu dapat dipandang sejalan dengan pandangan dunia
pendidikan Islam. Pandangan
pendidikan Islam adalah:
1. Manusia sebagai subjek dan objek
pendidikan, yang pada intinya adalah makhluk yang paling sempurna dan
istemewa (fi> ah}sani taqwi>m) yang sudah tentu tidak bisa disamakan dengan hewan dan makhluk
lainnya. Dalam Surah al-Tien (95) : 4 dinyatakan:
لَقَدۡ
خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤
4. sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
Bentuk
yang sebaik-baiknya tersebut, menurut Ibnu Thufail, merupakan ketiga aspek
fundamental dalam pendidikan, yaitu ranah kognitif (al-’aqliyyah),
afektif (al-khuluqiyyah al-ruhaniyyah), maupun psikomotorik (al-’amaliyyah).
Ketiganya merupakan syarat utama bagi tercapainya tujuan pendidikan yaitu
mewujudkan manusia seutuhnya dengan memadukan pengetahuan alam melalui penelitian
diskursif, dan pengetahuan agama yang berdasarkan wahyu melalui para Nabi dan
Rasul, sehingga mewujudkan sosok yang mampu menyeimbangkan kehidupan vertikal
dan kehidupan horizontal sekaligus.[16]
2. Keunikan manusia itu ditandai dengan
potensi yang dimiliki oleh manusia yang terdapat dalam dua dimensi,
yaitu dimensi material (jasad) dan dimensi immaterial (nafs, `aql, qalb, dan ruh}), sebagaimana
firman Allah,
ذَٰلِكَ عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ
وَٱلشَّهَٰدَةِ ٱلۡعَزِيزُ ٱلرَّحِيمُ ٦ ٱلَّذِيٓ أَحۡسَنَ كُلَّ
شَيۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَٰنِ مِن طِينٖ ٧ ثُمَّ جَعَلَ نَسۡلَهُۥ مِن
سُلَٰلَةٖ مِّن مَّآءٖ مَّهِينٖ ٨ ثُمَّ
سَوَّىٰهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِۦۖ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ
وَٱلۡأَفِۡٔدَةَۚ قَلِيلٗا مَّا تَشۡكُرُونَ ٩ [سورة السجدة,٦-٩]
6. Yang demikian itu ialah Tuhan Yang mengetahui
yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang
7. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah
8. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina
9. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur
[As Sajdah,6-9]
3. Manusia diciptakan (mempunyai fitrah),
sebagaimana dalam al- Qur’an;
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا
تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ
لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠ [سورة
الروم,٣٠]
30.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui
[Ar
Rum30]
Dalam mengembangkan potensi fitrah itu, manusia dipengaruhi
oleh lingkungan. Sebagaimana juga dalam hadis yang diriwayatkan
oleh al- Bukhari dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw. bersabda,
“Setiap
anak manusia dilahirkan atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya, Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)
4. Manusia di samping memliki keunggulan
sekaligus juga memiliki kelemahan-kelemahan, sebagaimana dalam al-Qur’an,
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن
يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا ٢٨ [سورة النساء,٢٨]
28. Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan
bersifat lemah
[An Nisa"28]
Berdasarkan kondisi manusia
itulah, maka pendidikan berperan menguatkan atau mendidik segenap potensi yang
dimiliki (secara holistik) (keunggulan) manusia sampai ia mampu mendidik
dirinya sendiri (dewasa/mukallaf) sehingga penyelewengan dari fitrahnya akibat
keterbatasan/kelemahannya itu dapat dihindari. Arah
pendidikan holistik ini juga sejalan dengan Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Bab II pasal 3 yang secara tegas
dinyatakan bahwa pendidikan di Indonesia: “...berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak … serta bertanggung jawab”. Pada
bagian lain dinyatakan bahwa:
a) Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.
b) Pendidikan diselenggarakan sebagai
satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna.
c) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu
proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat. Dari berbagai gambaran tentang kondisi dan berbagai persoalan
yang dihadapi oleh paradigm Cartesian-Newtonian dewasa ini serta berbagai
kondisi dan tuntutan saat ini, khususnya di dunia pendidikan, maka
kehadiran dan pilihan pada paradigma holistik adalah merupakan
sebuah keniscayaan.
E.
Karakteristik Paradigma Pendidikan Holistik
Belajar hakekatnya adalah suatu proses yang ditandai
dengan adanya perubahan pada diri seseorang, perubahan sabagai hasil dari
proses belajar dapat diindikasikan dalam bebagai bentuk seperti berubah
pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, kecakapan, keterampilan dan
kemampuan serta perubahan aspek-aspek yang lain yang ada pada individu yang
belajar.
Seperti yang
dikemukakan oleh George J. Mouly dalam bukunya bahwa belajar adalah perubahan
tingkah laku seseoran berkat adanya pengalaman. Pendapat senada disampaikan
oleh kimble dan Garmezi yang menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah
laku yang relative permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Sedangkan
Garry dan Kingsley menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah
laku yang orisinal melalui pengalaman dan latihan-latihan.
Dengan demikian,
inti dari belajar adalah adanya perubahan tingkah laku karena adannya suatu
pengalaman. Perubahan tingkah laku tersebut dapat berupa perubahan
keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan, pemahaman dan apresiasi. Adapun
pengalaman dalam proses belajar ialah bentuk interaksi antara individu dengan
lingkungan.
Berlakunya kurikulum 2004 yang bebasis kompetensi yang
menjadi roh bagi berlakunya kurikulum 2006 KTSP menuntut perubahan paradigm
dalam pendidikan dan pembelajaran, khususnya di lembaga pendidikan formal. Perubahan tersebut harus
puladiikuti oleh guru yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pembelajaran
di sekolah (di dalam kelas ataupun di luar kelas).
Salah satu
perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran yang
semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih berpusat pada murid
(student centered); metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori
berganti ke partisipatori; dan pendekatan yang semula lebih banyak
bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan
tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses
maupun basil pendidikan.
Satu inovasi yang
menarik mengiringi perubahan paradigma tersebut adalah ditemukan dan
diterapkannya model Pembelajaran- Holistik. Inovasi yang bermula dari
suatu pandangan pilosofis esensialisme, kemudian berkembang pada berbagai mata
pelajaran atau bidang studi. Apa sesungguhnya praktik belajar ini? Praktik
belajar diartikan sebagai,suatu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk
membantu peserta didik memahami teori/konsep-konsep melalui pengalaman belajar
praktik-empiris. Dalam konteks yang lebih luas, Oleh karma dalam model
pembelajaran ini basil akhirnya adalah assessment (penilaian) yang
bersifat komprehensif, baik dari segi proses maupun produk pada semua aspek
pembelajaran, yaitu aspek kognitif, afektif, maupun psikomototrik.
Karena dari sudut pandang filosofis pendidikan holistik adalah
merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada
dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup
melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Dalam konteks ini, meminjam
formulasi Heriyanto, setidaknya ada dua karateristik
pendidikan holistik yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, paradigma
pendidikan holistik berkaitan dengan pandangan antropologisnya bahwa
subjek merupakan pengertian yang berkorelasi dengan subjek-subjek
lain. Makna subjek dalam paradigma ini jauh berbeda dengan paradigma modern
Cartesian- Newtonian, yaitu tidak terisolasi, tidak tertutup dan tidak
terkungkung, melainkan berinterkoneksi dengan pengada-pengada lain di
alam raya. Kedua, paradigma
pendidikan holistik juga berkarakter realispluralis, kritis-konstruktif,
dan sintesis-dialogis. Pandangan holistik tidak mengambil pola pikir
dikotomis atau binary logic yang memaksa harus memilih
salah satu dan membuang yang lainnya, melainkan dapat menerima
realitas secara plural sebagaimana kekayaan realitas itu sendiri.
Dalam konteks ini sistem pendidikan dibangun
terpusat pada anak berdasarkan asumsi connectedness, wholeness dan being
fully human.
Pendidikan holistik sangat menafikan adanya dikotomi dalam berbagai bentuknya,
seperti dikotomi dunia-akhirat, ilmu umumagama/ ilmu shar’iyyah-ghairu
shar’iyyah, akal-fisik, dan lain-lain.
Keduanya harus ada dan diperhatikan serta
dibangun dalam relasi yang tidak terputus. Pendidikan holistik
membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang
lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan humanis melalui pengalaman
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui
pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi
dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan
psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara
yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan
karakter dan emosionalnya. Jika merujuk pada pemikiran Abraham
Maslow,[17] maka pendidikan harus
dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization)
yang ditandai dengan adanya kesadaran, kejujuran, kebebasan atau
kemandirian, dan kepercayaan.
Dalam konteks ini, Howard Gardner menyebutkan ada
sembilan kecerdasan bagi siswa yang harus dikembangkan dan
mendapat perhatian khusus, yaitu: [18]
1.
Kecerdasan
linguistik kecerdasan untuk membaca, menulis, bercerita, bermain kata dan menjelaskan. Pembentukan ini agar anak kelak berkemampuan
dalam bidang pemberitaan, jurnalistik, berpidato, debat,
percakapan dan lain-lain.
2.
Kecerdasan
logis atau matematis yaitu kecerdasan dalam bereksperimen,
bertanya, memecahkan teka-teki dan berhitung. Pembentukan ini
diarahkan agar anak berhasil dalam bidang matematika, akutansi,
program komputer, perbankan dan lain-lain.
3.
Kecerdasan
spatial atau visual yaitu kecerdasan dalam mendisain, menggambar,
membuat sketsa, menvisualisasikan. Pembentukan kecerdasan ini agar
anak memiliki kemampuan yang baik antara lain membuat peta,
fotografi, melukis, desain rencang bangun dan lainlain.
4.
Kecerdasan
body atau kenestetik yaitu kecerdasan untuk menari, berlari,
membangun, menyentuh, bergerak dan kegiatan fisik lainnya. Pembinaan kecerdasan ini agar anak
cemerlang dalam olah raga, senitari, seni pahat, dan sebagainya.
5.
Kecerdasan musikal adalah kecerdasan
untuk menyanyi, bersiul, bersenandung, menghentak-hentakkan kaki atau tangan,
mendengar bunyi-bunyian. Pembinaan kecerdasan ini diarahkan agar anak mempunyai
kecenderungan ini akan sukses dalam bernyanyi, menggubah lagu, memainkan alat
musik dan lain-lain.
6.
Kecerdasan interpersonal yaitu kecerdasan
untuk memimpin, mengatur, menghubungkan, bekerja sama, berpesta dll. Pembinaan kecerdasan ini agar anak berhasil dalam
pekerjaan seperti guru, pekerja sosial, pemimpin kelompok, organisasi, politik.
7.
Kecerdasan
intrapersonal yaitu kecerdasan untuk suka mengkhayal, berdiam
diri, merencanakan, menetapkan tujuan, refleksi. Pembinaan kecerdasan
ini agar anak cemerlang dalam filsafat, menulis penelitian dan
sebagainya.
8.
Kecerdasan
natural yaitu kecerdasan untuk suka berjalan, berkemah, berhubungan
dengan alam terbuka, tumbuh-tumbuhan, hewan. Pembinaan kecerdasan ini agar anak
dapat menguasai dan menyenangi dengan baik bidang botani, lingkungan hidup,
kedokteran dan lainlain.
9.
Kecerdasan eksistensialis yaitu
kecerdasan untuk suka berfilsafat, suka agama,
kebudayaan dan isu-isu sosial. Pada umumnya mereka berhasil
dalam bidang keagamaan dan psikologi.
F.
Ciri-ciri
Kurikulum Pendidikan Holistik
Pendidikan model holistik sangat menekankan
pendekatan pendidikan yang sangat manusiawi dan utuh. Model ini tidak
sepihak atau tidak sepotong-sepotong; dari aspek otaknya saja, fisiknya
saja, atau dari kerohaniannya saja, karena segala aspek fisik maupun
kejiwaan saling berkaitan dan melengkapi. Dalam implementasinya,
spiritualitas dapat dipadukan secara sinergis dengan religiusitas secara
holistik tanpa perlu mereduksi universalitas dan transendensi dari spiritualitas
itu sendiri.
1. Pembelajaran diarahkan agar siswa
menyadari akan keunikan dirinya dengan segala potensinya. Mereka harus
diajak untuk berhubungan dengan dirinya yang paling dalam (inner self),
sehingga memahami eksistensi, otoritas, tapi sekaligus bergantung sepenuhnya
kepada pencipta-Nya.
2. Pembelajaran tidak hanya mengembangkan
cara berpikir analitis/linier tapi juga intuitif.
3. Pembelajaran berkewajiban
menumbuh-kembangkan potensi kecerdasan jamak (multiple
intelligences).
4. Pembelajaran
berkewajiban menyadarkan siswa tentang keterkaitannya dengan komunitasnya,
sehingga mereka tak boleh mengabaikan tradisi, budaya, kerjasama, hubungan
manusiawi, serta pemenuhan kebutuhan yang tepat guna (jawa: nrimo ing pandum;
anti konsumerisme).
5. Pembelajaran
berkewajiban mengajak siswa untuk menyadari hubungannya dengan bumi dan
"masyarakat" non manusia seperti hewan, tumbuhan, dan benda benda tak
bernyawa (air, udara, tanah) sehingga mereka memiliki kesadaran ekologis.
6. Kurikulum berkewajiban memperhatikan
hubungan antara berbagai pokok bahasan dalam tingkatan trans-disipliner, sehingga
hal itu akan lebih memberi makna kepada siswa.
7. Pembelajaran berkewajiban
menghantarkan siswa untuk menyeimbangkan antara belajar individual
dengan kelompok (kooperatif, kolaboratif, antara isi dengan proses, antara
pengetahuan dengan imajinasi, antara rasional dengan intuisi, antara
kuantitatif dengan kualitatif.
8. Pembelajaran adalah sesuatu yang
tumbuh, menemukan, dan memperluas cakrawala.
9. Pembelajaran adalah sebuah proses
kreatif dan artistik.
Berdasarkan
paparan di atas, maka model pembelajaran Holistik mendasarkan diri (self oriented)
pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut:
a)
Proses Belajar
(1)
Belajar
tidak hanya sekadar menghafal. Siswa harus mengonstruksikan pengetahuan
dibenak mereka sendiri sendiri.
(2)
Anak
belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari
pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
(3)
Para
ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan
mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan.
(4)
Pengetahuan
tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah,
tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
(5)
Manusia
mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
(6)
Siswa
perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
(7)
Proses
belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan
terus seiiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan
seseorang.
b)
Transfer
Belajar
(1)
Siswa
belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
(2)
Keterampilan dan pengetahuan itu
diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit).
(3)
Penting
bagi siswa untuk tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan
pengetahuan dan keterampilan itu.
c)
Siswa scbagai Pembelajar
(1)
Manusia
mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak
mempunyai kecenderunpn untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
(2)
Strategi
belajar itu pcnting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan
tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
(3)
Peran
orang dewasa berperan membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah
diketahui.
(4)
Tugas
guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa
untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk
menerapkan strategi mereka sendiri.
d)
Pentingnya lingkungan belajar.
Belajar efektif itu dimualai dari
lingkungan belajar yang berpusat pada siswa.
(1)
Pengajaran
harus berpusat pada bagaimana siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.
Strategi belajar lebih penting daripada hasilnya.
(2)
Umpan
balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar.
(3)
Menumbuhkan
komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
(4)
Media
pembelajaran harus dirangcang dan dikembangkan untuk memberikan lingkungan yang
interaktif, memotivasi dan menyenangkan.
Bersarkan
kerangka konseptual tersebut, ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada
pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah
dan menyentuh dimensi fisik, kognitif dan jiwa, mental dan emosional anak. Belajar akan lebih bermakna
jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran
yang berorientasi pada penguasaan materi (Rote
Learning) terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi
gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
Model-model
pembelajaran holistik merupakan konsep belajar yang membantu guru untuk
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya denga
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran
diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah
dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer
pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari
pada hasil.
Untuk memabvntu
siswa mamahami konsep-konsep dan memudahkan guru dalam mengajarkan
konsep-konsep tersebut diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang langsung
mengaitkan materi konteks pelajaran dengan pengalaman nyata dalam kehidupan
sehari-hari.
Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal
sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif. Oleh karena itu
strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan
bagaimana orang belajar.
G.
Aplikasi Pendidikan holistik dalam
proses pembelajaran
Pendidikan holistik dapat diaplikasikan dalam
proses pembelajaran dengan menerapkan Integrated Learning
atau pembelajaran terintergrasi/terpadu,
yaitu suatu pembelajaranyang memadukan berbagai materi dalam satu sajian
pembelajaran. Inti pembelajaran ini adalah agar siswa memahami keterkaitan
antara satu materi dengan materi lainnya, antara saru mata pelajaran
dengan mata pelajaran lain. Dari integrated learning inilah
muncul istilah integrated curriculum (kurikulum terintegrasi/terpadu). Karakteristik kurikulum terintegrasi
menurut Lake dalam Megawangi,[20] antara lain; adanya keterkaitan
antar mata pelajaran dengan tema sebagai pusat keterkaitan, menekankan
pada aktivitas kongkret atau nyata, memberikan peluang bagi siswa
untuk bekerja dalam kelompok. Selain memberikan pengalaman untuk
memandang sesuatu dalam perspektif keseluruhan, juga memberikan motivasi
kepada siswa untuk bertanya dan mengetahui lebih lanjut mengenai
materi yang dipelajarinya. Memberi kesempatan kepada siswa untuk
belajar melihat keterkaitan antar mata pelajaran dalam hubungan yang
berarti dan kontekstual bagi kehidupan nyata.
Integrated curriculum atau sering dikenal
dengan istilah interdisciplinary teaching, thematically teaching dan synergetic
teaching member kesempatan kepada siswa untuk belajar melihat keterkaitan
antar mata pelajaran dalam hubungan yang berarti dan kontekstual bagi kehidupan
nyata. Sebagai contoh terdapat dalam kurikulum dengan tema kendaraan yang
memiliki keterjalaan sebagai berikut :
Kurikulum terintegrasi dalam pendidikan holistik juga membuat
siswa belajar sesuai dengan gambaran yang sesungguhnya, hal ini karena
kurikulum terintegrasi mengajarkan keterkaitan akan segala sesuatu sehingga
terbiasa memandang segala sesuatu dalam gambaran yang utuh. Kurikulum
terintegrasi dapat memberikan peluang kepada siswa untuk menarik kesimpulan
dari berbagai sumber infomasi berbeda mengenai suatu tema, serta dapat
memecahkan masalah dengan memperhatikan faktor- faktor berbeda (ditinjau dari
berbagai aspek). Selain itu dengan kurikulum terintegrasi, proses belajar
menjadi relevan dan kontekstual sehingga berarti bagi siswa dan membuat siswa
dapat berpartsipasi aktif sehingga seluruh dimensi manusia terlibat aktif
(fisik, social, emosi, akademik).
DAFTAR PUSTAKA
(ON LINE) http://www.masdayat.web.id/2009/02/aplikasi-pendidikan-holistik-dalam.html
Diakses Selasa 10 Mei 2016 pukul 8.48
Ashraf Ali, 1989. Horison Baru Pendidikan Islam,
terj. Sori Siregar, (Jakarta: Pustaka Firdaus.
Heriyanto Husain, 2003. Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan
Menurut Shadra dan Whitehead. Bandung: Mizan
Media Utama.
Kemendiknas, Rencana Strategis Departemen Pendidikan
Nasional Tahun 2005 – 2009.Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional
Latifah M.,
2008. Pendidikan Holistik.
Bahan Kuliah Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor.
M. Hadi
Masruri, 2009 “Pendidikan menurut Ibnu Thufail (Perspektif Teori Taxonomy
Bloom)”, dalam M. Zainuddin, dkk.
(eds.), Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Malang Press,
Megawangi Ratna, 2005Pendidikan Holistik. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.
Musfah Jejen, 2012. Pendidikan Holistik: Pendekatan LintasPerspektif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Najib Sulhan, 2006.Pembangunan Karakter
Anak: Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif
.Surabaya: Surabaya Intelektual Club,
Rubiyanto Nanik dan Dani Haryanto, 2010. Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah .Jakarta: Prestasi Pustaka.
Sudrajat
Akhmad, Pendidikan Holistik, dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ 2008/01/26/pendidikan-holistik/, diakses
12 Oktober 2010.
Supratiknya
A. 1993 (ed.), Psikologi Kepribadian 2: Teori-Teori Holistik (Organismik- Fenomenologis), Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, 2005. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed. 3, Cet. 3
[1] Holistic memiliki arti; relating to holism and of concerned with
or dealing with wholes or integrated system rather than with their parts. Noah Webster, Webster`s New Twentieth
Century Dictionary of the
English Language (Buenos
Aires: William Collins Publisher Inc., 1980), hlm,643.
[2] Husain Heriyanto, Paradigma
Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), hlm, 12.
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), Ed. 3, Cet. 3,
hlm. 406
[4] A. Supratiknya (ed.), Psikologi Kepribadian 2:
Teori-Teori Holistik (Organismik-
Fenomenologis), (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 8-9.
[5] Akhmad Sudrajat, Pendidikan Holistik, dalam
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
2008/01/26/pendidikan-holistik/,
diakses 12 Oktober 2010.
[6] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam,
terj. Sori Siregar, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1989), hlm. 107.
[7] Ratna Megawangi, Pendidikan
Holistik (Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation, 2005), hlm, 6-7.
[10] M. Latifah, Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah (Bogor:
Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen. Institut
Pertanian Bogor, 2008), 7-9.
[11] Nanik
Rubiyanto dan Dani Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010),
32.
[12] Jejen Musfah, Pendidikan Holistik: Pendekatan
LintasPerspektif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 40
[13] Kemendiknas,
Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005 – 2009
(Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional) hlm, 74
[14] M. Latifah, Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah (Bogor:
Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen.
Institut Pertanian Bogor, 2008), hlm, 43
[16] M. Hadi Masruri, “Pendidikan menurut Ibnu Thufail
(Perspektif Teori Taxonomy Bloom)”,
dalam M. Zainuddin, dkk. (eds.), Pendidikan Islam dari Paradigma
Klasik Hingga Kontemporer,
(Malang: UIN Malang
Press, 2009), hlm. 187-213.
[17] Ibid. Jujun, Pendidikan Holistik, 42.
[18]Najib Sulhan, Pembangunan
Karakter Anak: Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif (Surabaya: Surabaya
Intelektual Club, 2006), 17-21
[19] Nanik
Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya,
2010), 42-43.
Komentar
Posting Komentar