PENDIDIKAN HOLISTIK


       PAI Sem.VI (Filsafat Pendidikan Islam)




       Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Pendidikan Holistik?
2.      Bagaimana Sejarah Pendidikan Holistik?
3.      Apa saja tujuan Pendidikan Holistik ?
4.      Apakah Urgensi Pendidikan Holistik?
5.      Bagaimana Karakteristik Paradigma Pendidikan Holistik? 
6.      Bagaimana Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan Holistik?
7.      Bagaiamana Aplikasi Pendidikan Holistik dalam proses pembelajaran ?

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Holistik
Istilah holistik merupakan sebuah persitilahan yang berasal dari bahasa Inggris dari akar kata “whole” yang berarti keseluruhan.[1] Dengan pengambilan makna dasar seperti ini, menurut Husein Heriyanto[2] paradigma holistik dapat diartikan sebagai suatu cara pandang yang menyeluruh dalam mempersepsi realitas. Berpandangan holistik artinya lebih memandang aspek keseluruhan daripada bagian-bagian, bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, non-mekanik, dan non-linier.  Di samping itu, istilah holistik juga diambil dari kata dasar heal (penyembuhan) dan health (kesehatan). Secara etimologis memiliki akar kata yang sama dengan istilah whole (keseluruhan).
Kamus Besar Bahasa Indonesia membagi pengertian holistik menjadi dua macam. Pertama, sebagai sebuah paham, holistik adalah “cara pendekatan terhadap suatu masalah atau gejala, dengan memandang masalah atau gejala itu sebagai suatu kesatuan yang utuh.” Kedua, sebagai sebuah sifat, maka holistik “berhubungan dengan sistem keseluruhan sebagai suatu kesatuan lebih daripada sekadar kumpulan bagian.”[3]
Hall dan Lindzey, dalam Supratiknya, memberikan definisi holistik sebagai “semua teori yang menekankan pandangan bahwa manusia merupakan suatu organisme yang utuh atau padu dan bahwa tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan semata-mata berdasarkan aktivitas bagian-bagiannya”.[4]
Seperti dinyatakan oleh Akhmad Sudrajat sebagai berikut: Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang dan perdamaian.[5]
Definisi pendidikan holistik lainnya dikemukakan oleh para sarjana muslim pada Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam, yang menyatakan bahwa: Pendidikan harus bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan, dan indera. Karena itu, pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Muslim terletak dalam perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.[6]
            Hal ini mengindikasikan bahwa berpikir holistik berarti berpikir sehat. Dalam ranah pendidikan, pendidikan holistik merupakan suatu metode pendidikan yang membangun manusia secara keseluruhan dan utuh dengan mengembangkan semua potensi manusia yang mencakup potensi sosial-emosi, potensi intelektual, potensi moral atau karakter, kreatifitas, dan spiritual. Tujuan pendidikan holistik adalah untuk membentuk manusia holistik. Manusia holistik adalah manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya. Potensi yang ada dalam diri manusia meliputi potensi akademik, potensi fisik, potensi sosial, potensi kreatif, potensi emosi dan potensi spiritual.[7] Manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensinya merupakan manusia yang holistik, yaitu manusia pembelajar sejati yang selalu menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah system kehidupan yang luas, sehingga selalu ingin memberikan kontribusi positif kepada lingkungan hidupnya.[8]  Tujuan pendidikan di Indonesia yang tertuang pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 adalah untuk membentuk manusia yang holistik dan berkarakter.[9] Manusia holistik dan berkarakter merupakan social capital bagi perkembangan suatu bangsa. 
Dalam pelaksanaannya, pendidikan holistik berpijak pada tiga
prinsip, yaitu:[10]

  1. Connectedness
Connectedness adalah konsep interkoneksi yang berasal dari filosofi holisme yang kemudian berkembang menjadi konsep ekologi, fisika kuantum dan teori sistem.
  1. Wholeness
Keseluruhan (wholeness) bukan sekedar penjumlahan dari setiap bagiannya. Sistem wholeness bersifat dinamis sehingga tidak bias dideduksi hanya dengan mempelajari setiap komponennya.
  1. Being
Menjadi (being) adalah tentang merasakan sepenuhnya kekinian. Hal ini berkaitan dengan kedalaman jiwa, kebijaksanaan (wisdom), wawasan (insight), kejujuran, dan keotentikan.
Berdasarkan pengertian paradigma sebelumnya dan pengertian holistik di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma pendidikan holistic adalah cara memandang pendidikan yang menyeluruh bukan merupakan bagian-bagian yang parsial, terbatas, dan kaku. Pendidikan holistic menurut Jeremy Henzell-Thomas merupakan suatu upaya membangun secara utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran, yang mencakup spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya, estetika, emosi dan fisik yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut ke arah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan di dunia.


B.     Sejarah Pendidikan Holistik
Lahirnya pendidikan holistik sejatinya adalah merupakan suatu respon yang bijaksana atas ekologi, budaya, dan tantangan moral pada abad ini, yang bertujuan untuk mendorong para kaum muda sebagai generasi penerus untuk dapat hidup dengan bijaksana dan bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang saling pengertian dan secara berkelanjutan ikut serta berperan dalam pembangunan masyarakat. Persoalan ekologi, budaya, dan tantangan moral pada abad ini itu tentu tidak bisa dipisahkan dari persoalan dan kegagalan paradigma Cartesian- Newtonian dalam menjawab berbagai tantangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini serta berbagai problema krusial yang diakibatkannya.
Secara historis, paradigma pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru. Ada banyak tokoh klasik perintis pendidikan holistik, diantaranya: Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johan Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik, adalah Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.[11] Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistic sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Gerakan itu muncul sebagai akibat dari keprihatinan terhadap krisis ekologis, dampak nuklir, polusi kimia, dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya masyarakat tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional serta institusinya. Kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential.
Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3R’s, akronim dari relationship, responsibility, dan reverence. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3R’s ini lebih diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis dan berhitung).[12] Akhir-akhir ini gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Muncul konsep atau teori yang berbasis kuantum dalam dunia pendidikan yang akhir-akhir ini dikenal dengan istilah model quantum teaching and learning, axelerated learning, Integrated Learning, emotional intelegent, spiritual intelegent, dan sebagainya. Semua itu adalah merupakan konsekuensi dari upaya untuk menjawab dan ketidakpuasan dengan konsep dan teori-teori pendidikan yang berlandaskan paradigma Cartesian-Newtonian.
C.    Tujuan Pendidikan Holistik
Pendidikan seharusnya menjadi wahana strategis bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai.[13] Pendidikan holistik membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri. Dalam arti, para siswa dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya.
Oleh karena itu, upaya pendidikan holistic tidak lain adalah untuk membangun secara utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran, yang mencakup spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya, estetika, emosi dan fisik yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut ke arah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan di dunia.[14] Pada saat ini banyak model pendidikan yang berdasarkan pandangan abad ke 19 yang menekankan pada (belajar terkotak-kotak), linier thinking (bukan sistem) dan (fisik yang utama), yang membuat siswa sulit untuk memahami relevance dan value antara yang dipelajari disekolah dengan kehidupannya. Oleh karena itu, dibutuhkan system pendidikan yang terpusat pada anak yang dibangun berdasarkan asumsi connectedness, wholeness, dan being fully human.
Untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, maka kurikulum yang dirancang harus diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan manusia holistik. Termasuk di dalamnya membentuk anak menjadi pembelajar sejati, yang senantiasa berpikir holistik, bahwa segala sesuatu adalah saling terkait atau berhubungan. Beberapa pendekatan pembelajaran yang dianggap efektif untuk menjadikan manusia pembelajar sejati di antaranya adalah pendekatan siswa belajar aktif, pendekatan yang merangsang daya minat anak atau rasa keingintahuan anak, pendekatan belajar bersama dalam kelompok, kurikulum terintegrasi, dan lain-lain.[15]
D. Urgensi Pendidikan Holistik
Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat dalam hidup itu terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang handal dan berbudaya. Oleh karena itu perlu implementasi penyelenggaraan pendidikan holistik secara baik. Beberapa hal yang mendapat penekanan lebih dalam menerapkan model pendidikan karakter. Pertama, Knowing the good. Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal tersebut. Selama ini banyak orang yang tahu bahwa ini baik dan itu buruk, namun mereka tidak tahu apa alasannya melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik. Jadi masih ada gap antara knowing dan acting. Pendidikan holistik tidak membatasi pada tiga ranah Bloomian (yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik)  saja,  tetapi menuntut untuk memperhatikan seluruh kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual.
Istilah pendidikan holistik muncul dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam peraturan tersebut, holistik didefinisikan sebagai “cara memandang segala sesuatu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan bagian lain yang lebih luas.”23 Dengan diakomodirnya istilah holistik dalam Permendiknas, maka semakin menunjukkan betapa pentingnya konsep pendidikan holistik untuk  diterapkan dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia.
Pilihan pada paradigm pendidikan holistik ini tentu dapat dipandang sejalan dengan pandangan dunia pendidikan Islam.  Pandangan pendidikan Islam adalah:
1.      Manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, yang pada intinya adalah makhluk yang paling sempurna dan istemewa (fi> ah}sani  taqwi>m) yang sudah tentu tidak bisa disamakan dengan hewan dan makhluk lainnya. Dalam Surah al-Tien (95) : 4 dinyatakan:
 لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤
4. sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
              Bentuk yang sebaik-baiknya tersebut, menurut Ibnu Thufail, merupakan ketiga aspek fundamental dalam pendidikan, yaitu ranah kognitif (al-’aqliyyah), afektif (al-khuluqiyyah al-ruhaniyyah), maupun psikomotorik (al-’amaliyyah). Ketiganya merupakan syarat utama bagi tercapainya tujuan pendidikan yaitu mewujudkan manusia seutuhnya dengan memadukan pengetahuan alam melalui penelitian diskursif, dan pengetahuan agama yang berdasarkan wahyu melalui para Nabi dan Rasul, sehingga mewujudkan sosok yang mampu menyeimbangkan kehidupan vertikal dan kehidupan horizontal sekaligus.[16]
2.      Keunikan manusia itu ditandai dengan potensi yang dimiliki oleh manusia yang terdapat dalam dua dimensi, yaitu dimensi material (jasad) dan dimensi immaterial (nafs, `aql, qalb,  dan ruh}), sebagaimana firman Allah,
ذَٰلِكَ عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ ٱلۡعَزِيزُ ٱلرَّحِيمُ ٦ ٱلَّذِيٓ أَحۡسَنَ كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَٰنِ مِن طِينٖ ٧ ثُمَّ جَعَلَ نَسۡلَهُۥ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن مَّآءٖ مَّهِينٖ ٨ ثُمَّ سَوَّىٰهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِۦۖ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفۡ‍ِٔدَةَۚ قَلِيلٗا مَّا تَشۡكُرُونَ ٩ [سورة السجدة,٦-٩]
6. Yang demikian itu ialah Tuhan Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang
7. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah
8. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina
9. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur
[As Sajdah,6-9]
3.      Manusia diciptakan (mempunyai fitrah), sebagaimana dalam al- Qur’an;
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠ [سورة الروم,٣٠]
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
[Ar Rum30]
Dalam mengembangkan potensi fitrah itu, manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Sebagaimana juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh al- Bukhari dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw. bersabda,

 Setiap anak manusia dilahirkan atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya, Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)

4.      Manusia di samping memliki keunggulan sekaligus juga memiliki kelemahan-kelemahan, sebagaimana dalam al-Qur’an,
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا ٢٨ [سورة النساء,٢٨]
28. Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah
[An Nisa"28]
Berdasarkan kondisi manusia itulah, maka pendidikan berperan menguatkan atau mendidik segenap potensi yang dimiliki (secara holistik) (keunggulan) manusia sampai ia mampu mendidik dirinya sendiri (dewasa/mukallaf) sehingga penyelewengan dari fitrahnya akibat keterbatasan/kelemahannya itu dapat dihindari. Arah pendidikan holistik ini juga sejalan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Bab II pasal 3 yang secara tegas dinyatakan bahwa pendidikan di Indonesia: “...berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak … serta bertanggung jawab”. Pada bagian lain dinyatakan bahwa:
a)      Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
b)      Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna.
c)      Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Dari berbagai gambaran tentang kondisi dan berbagai persoalan yang dihadapi oleh paradigm Cartesian-Newtonian dewasa ini serta berbagai kondisi dan tuntutan saat ini, khususnya di dunia pendidikan, maka kehadiran dan pilihan pada paradigma holistik adalah merupakan sebuah keniscayaan.
E.  Karakteristik Paradigma Pendidikan Holistik 
Belajar hakekatnya adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang, perubahan sabagai hasil dari proses belajar dapat diindikasikan dalam bebagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, kecakapan, keterampilan dan kemampuan serta perubahan aspek-aspek yang lain yang ada pada individu yang belajar.
Seperti yang dikemukakan oleh George J. Mouly dalam bukunya bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku seseoran berkat adanya pengalaman. Pendapat senada disampaikan oleh kimble dan Garmezi yang menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang relative permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Sedangkan Garry dan Kingsley menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang orisinal melalui pengalaman dan latihan-latihan.
Dengan demikian, inti dari belajar adalah adanya perubahan tingkah laku karena adannya suatu pengalaman. Perubahan tingkah laku tersebut dapat berupa perubahan keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan, pemahaman dan apresiasi. Adapun pengalaman dalam proses belajar ialah bentuk interaksi antara individu dengan lingkungan.
Berlakunya kurikulum 2004 yang bebasis kompetensi yang menjadi roh bagi berlakunya kurikulum 2006 KTSP menuntut perubahan paradigm dalam pendidikan dan pembelajaran, khususnya di lembaga pendidikan formal. Perubahan tersebut harus puladiikuti oleh guru yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pembelajaran di sekolah (di dalam kelas ataupun di luar kelas).
Salah satu perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih berpusat pada murid (student centered); me­todologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori; dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun basil pendidikan.
Satu inovasi yang menarik mengiringi perubahan paradigma tersebut adalah ditemukan dan diterapkannya model Pembelajaran- Holistik. Inovasi yang bermula dari suatu pandangan pilosofis esensialisme, kemudian berkembang pada berbagai mata pe­lajaran atau bidang studi. Apa sesungguhnya praktik belajar ini? Praktik belajar diartikan sebagai,suatu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori/kon­sep-konsep melalui pengalaman belajar praktik-empiris. Dalam konteks yang lebih luas, Oleh karma dalam model pembelajaran ini basil akhirnya adalah assessment (penilaian) yang bersifat komprehensif, baik dari segi proses maupun produk pada semua aspek pembelajaran, yaitu aspek kognitif, afektif, maupun psiko­mototrik.
Karena dari sudut pandang filosofis pendidikan holistik adalah merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Dalam konteks ini, meminjam formulasi Heriyanto, setidaknya ada dua karateristik pendidikan holistik yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, paradigma pendidikan holistik berkaitan dengan pandangan antropologisnya bahwa subjek merupakan pengertian yang berkorelasi dengan subjek-subjek lain. Makna subjek dalam paradigma ini jauh berbeda dengan paradigma modern Cartesian- Newtonian, yaitu tidak terisolasi, tidak tertutup dan tidak terkungkung, melainkan berinterkoneksi dengan pengada-pengada lain di alam raya. Kedua, paradigma pendidikan holistik juga berkarakter realispluralis, kritis-konstruktif, dan sintesis-dialogis. Pandangan holistik tidak mengambil pola pikir dikotomis atau binary logic yang memaksa harus memilih salah satu dan membuang yang lainnya, melainkan dapat menerima realitas secara plural sebagaimana kekayaan realitas itu sendiri.
Dalam konteks ini sistem pendidikan dibangun terpusat pada anak berdasarkan asumsi connectedness, wholeness dan being fully human. Pendidikan holistik sangat menafikan adanya dikotomi dalam berbagai bentuknya, seperti dikotomi dunia-akhirat, ilmu umumagama/ ilmu shar’iyyah-ghairu shar’iyyah, akal-fisik, dan lain-lain.
Keduanya harus ada dan diperhatikan serta dibangun dalam relasi yang tidak terputus. Pendidikan holistik membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya. Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow,[17] maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya kesadaran, kejujuran, kebebasan atau kemandirian, dan kepercayaan.
Dalam konteks ini, Howard Gardner menyebutkan ada sembilan kecerdasan bagi siswa yang harus dikembangkan dan mendapat perhatian khusus, yaitu: [18]
1.         Kecerdasan linguistik kecerdasan untuk membaca, menulis, bercerita, bermain kata dan menjelaskan. Pembentukan ini agar anak kelak berkemampuan dalam bidang pemberitaan, jurnalistik, berpidato, debat, percakapan dan lain-lain.
2.         Kecerdasan logis atau matematis yaitu kecerdasan dalam bereksperimen, bertanya, memecahkan teka-teki dan berhitung. Pembentukan ini diarahkan agar anak berhasil dalam bidang matematika, akutansi, program komputer, perbankan dan lain-lain.
3.         Kecerdasan spatial atau visual yaitu kecerdasan dalam mendisain, menggambar, membuat sketsa, menvisualisasikan. Pembentukan kecerdasan ini agar anak memiliki kemampuan yang baik antara lain membuat peta, fotografi, melukis, desain rencang bangun dan lainlain.
4.         Kecerdasan body atau kenestetik yaitu kecerdasan untuk menari, berlari, membangun, menyentuh, bergerak dan kegiatan fisik lainnya. Pembinaan kecerdasan ini agar anak cemerlang dalam olah raga, senitari, seni pahat, dan sebagainya.
5.         Kecerdasan musikal adalah kecerdasan untuk menyanyi, bersiul, bersenandung, menghentak-hentakkan kaki atau tangan, mendengar bunyi-bunyian. Pembinaan kecerdasan ini diarahkan agar anak mempunyai kecenderungan ini akan sukses dalam bernyanyi, menggubah lagu, memainkan alat musik dan lain-lain.
6.         Kecerdasan interpersonal yaitu kecerdasan untuk memimpin, mengatur, menghubungkan, bekerja sama, berpesta dll. Pembinaan kecerdasan ini agar anak berhasil dalam pekerjaan seperti guru, pekerja sosial, pemimpin kelompok, organisasi, politik.
7.         Kecerdasan intrapersonal yaitu kecerdasan untuk suka mengkhayal, berdiam diri, merencanakan, menetapkan tujuan, refleksi. Pembinaan kecerdasan ini agar anak cemerlang dalam filsafat, menulis penelitian dan sebagainya.
8.         Kecerdasan natural yaitu kecerdasan untuk suka berjalan, berkemah, berhubungan dengan alam terbuka, tumbuh-tumbuhan, hewan. Pembinaan kecerdasan ini agar anak dapat menguasai dan menyenangi dengan baik bidang botani, lingkungan hidup, kedokteran dan lainlain.
9.         Kecerdasan eksistensialis yaitu kecerdasan untuk suka berfilsafat, suka agama, kebudayaan dan isu-isu sosial. Pada umumnya mereka berhasil dalam bidang keagamaan dan psikologi.
F.   Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan Holistik
Pendidikan model holistik sangat menekankan pendekatan pendidikan yang sangat manusiawi dan utuh. Model ini tidak sepihak atau tidak sepotong-sepotong; dari aspek otaknya saja, fisiknya saja, atau dari kerohaniannya saja, karena segala aspek fisik maupun kejiwaan saling berkaitan dan melengkapi. Dalam implementasinya, spiritualitas dapat dipadukan secara sinergis dengan religiusitas secara holistik tanpa perlu mereduksi universalitas dan transendensi dari spiritualitas itu sendiri.
      Ciri-ciri kurikulum dari pendidikan holistik adalah sebagai berikut: [19]
1.      Pembelajaran diarahkan agar siswa menyadari akan keunikan dirinya dengan segala potensinya. Mereka harus diajak untuk berhubungan dengan dirinya yang paling dalam (inner self), sehingga memahami eksistensi, otoritas, tapi sekaligus bergantung sepenuhnya kepada pencipta-Nya.
2.      Pembelajaran tidak hanya mengembangkan cara berpikir analitis/linier tapi juga intuitif.
3.      Pembelajaran berkewajiban menumbuh-kembangkan potensi kecerdasan jamak (multiple intelligences).
4.      Pembelajaran berkewajiban menyadarkan siswa tentang keterkaitannya dengan komunitasnya, sehingga mereka tak boleh mengabaikan tradisi, budaya, kerjasama, hubungan manusiawi, serta pemenuhan kebutuhan yang tepat guna (jawa: nrimo ing pandum; anti konsumerisme).
5.      Pembelajaran berkewajiban mengajak siswa untuk menyadari hubungannya dengan bumi dan "masyarakat" non manusia seperti hewan, tumbuhan, dan benda benda tak bernyawa (air, udara, tanah) sehingga mereka memiliki kesadaran ekologis.
6.      Kurikulum berkewajiban memperhatikan hubungan antara berbagai pokok bahasan dalam tingkatan trans-disipliner, sehingga hal itu akan lebih memberi makna kepada siswa.
7.      Pembelajaran berkewajiban menghantarkan siswa untuk menyeimbangkan antara belajar individual dengan kelompok (kooperatif, kolaboratif, antara isi dengan proses, antara pengetahuan dengan imajinasi, antara rasional dengan intuisi, antara kuantitatif dengan kualitatif.
8.      Pembelajaran adalah sesuatu yang tumbuh, menemukan, dan memperluas cakrawala.
9.      Pembelajaran adalah sebuah proses kreatif dan artistik.

Berdasarkan paparan di atas, maka model pembelajaran Holistik mendasarkan diri (self oriented) pada kecenderu­ngan pemikiran tentang belajar sebagai berikut:
a)            Proses Belajar
                           (1)      Belajar tidak hanya sekadar menghafal. Siswa harus meng­onstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri sendiri.
                           (2)      Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola­-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
                           (3)      Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki se­seorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan.
                           (4)      Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-­fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
                           (5)      Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam me­nyikapi situasi baru.
                           (6)      Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
                           (7)      Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiiring dengan perkembang­an organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang.
b)           Transfer Belajar
                           (1)      Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pembe­rian orang lain.
                           (2)       Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit).
                           (3)      Penting bagi siswa untuk tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.


c)            Siswa scbagai Pembelajar
                                             (1)            Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecende­runpn untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
                                             (2)            Strategi belajar itu pcnting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
                                             (3)            Peran orang dewasa berperan membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui.
                                             (4)            Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
d)           Pentingnya lingkungan belajar.
Belajar efektif itu dimualai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa.
                                             (1)            Pengajaran harus berpusat pada bagaimana siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih penting daripada hasilnya.
                                             (2)            Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar.
                                             (3)            Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
                                             (4)            Media pembelajaran harus dirangcang dan dikembangkan untuk memberikan lingkungan yang interaktif, memotivasi dan menyenangkan.
Bersarkan kerangka konseptual tersebut, ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah dan menyentuh dimensi fisik, kognitif dan jiwa, mental dan emosional anak. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi (Rote Learning) terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
Model-model pembelajaran holistik merupakan konsep belajar yang membantu guru untuk mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya denga penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil.
Untuk memabvntu siswa mamahami konsep-konsep dan memudahkan guru dalam mengajarkan konsep-konsep tersebut diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang langsung mengaitkan materi konteks pelajaran dengan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif. Oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar.
G.    Aplikasi Pendidikan holistik dalam proses pembelajaran
Pendidikan holistik dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran dengan menerapkan Integrated Learning atau pembelajaran terintergrasi/terpadu, yaitu suatu pembelajaranyang memadukan berbagai materi dalam satu sajian pembelajaran. Inti pembelajaran ini adalah agar siswa memahami keterkaitan antara satu materi dengan materi lainnya, antara saru mata pelajaran dengan mata pelajaran lain. Dari integrated learning inilah muncul istilah integrated curriculum (kurikulum terintegrasi/terpadu). Karakteristik kurikulum terintegrasi menurut Lake dalam Megawangi,[20] antara lain; adanya keterkaitan antar mata pelajaran dengan tema sebagai pusat keterkaitan, menekankan pada aktivitas kongkret atau nyata, memberikan peluang bagi siswa untuk bekerja dalam kelompok. Selain memberikan pengalaman untuk memandang sesuatu dalam perspektif keseluruhan, juga memberikan motivasi kepada siswa untuk bertanya dan mengetahui lebih lanjut mengenai materi yang dipelajarinya. Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar melihat keterkaitan antar mata pelajaran dalam hubungan yang berarti dan kontekstual bagi kehidupan nyata.
Integrated curriculum atau sering dikenal dengan istilah interdisciplinary teaching, thematically teaching dan synergetic teaching member kesempatan kepada siswa untuk belajar melihat keterkaitan antar mata pelajaran dalam hubungan yang berarti dan kontekstual bagi kehidupan nyata. Sebagai contoh terdapat dalam kurikulum dengan tema kendaraan yang memiliki keterjalaan sebagai berikut :


     Kurikulum terintegrasi dalam pendidikan holistik juga membuat siswa belajar sesuai dengan gambaran yang sesungguhnya, hal ini karena kurikulum terintegrasi mengajarkan keterkaitan akan segala sesuatu sehingga terbiasa memandang segala sesuatu dalam gambaran yang utuh. Kurikulum terintegrasi dapat memberikan peluang kepada siswa untuk menarik kesimpulan dari berbagai sumber infomasi berbeda mengenai suatu tema, serta dapat memecahkan masalah dengan memperhatikan faktor- faktor berbeda (ditinjau dari berbagai aspek). Selain itu dengan kurikulum terintegrasi, proses belajar menjadi relevan dan kontekstual sehingga berarti bagi siswa dan membuat siswa dapat berpartsipasi aktif sehingga seluruh dimensi manusia terlibat aktif (fisik, social, emosi, akademik).
















BAB III
KESIMPULAN

Pendidikan holistik bertujuan membangun atau mengembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh dalam berbagai aspek, seperti Intlektual, emosional, fisik, arstistik, kreatif, dan spritual. Selain itu Pendidikan Holistik mengarahkan peserta didik agar menjadi pribadi yang mandiri dan menjadi pembelajar sejati.
Pendekatan holistic sendiri memiliki berbagai metode dan teknik dalam penerapanya . metode tersebut adalah Belajar melalui keseluruhan bagian otak dan Belajar melalui kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Sedangkan teknik yang digunaan dalam pendekat holistic adalah Mengajukan pertanyaan, Memvisualkan informasi dan Merasakan informasi. Sehingga Pendekatan Holistik  tidak melihat manusia dari aktivitasnya yang terpisah pada bagian-bagian tertentu, namun merupakan mahluk yang bersifat  utuh dan tingkah lakunya tidak dapat dijelaskan  berdasarkan aktivitas bagian-bagiannya. Tidak hanya  melalui potensi intelektualnya saja, namun juga dari potensi spiritual dan emosionalnya










DAFTAR PUSTAKA




(ON LINE) http://www.masdayat.web.id/2009/02/aplikasi-pendidikan-holistik-dalam.html Diakses Selasa 10 Mei 2016 pukul 8.48

Ashraf Ali, 1989. Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, (Jakarta: Pustaka Firdaus.

Heriyanto Husain, 2003. Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Bandung: Mizan Media Utama.

Kemendiknas, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005 – 2009.Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Latifah M., 2008. Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor.

M. Hadi Masruri, 2009 “Pendidikan menurut Ibnu Thufail (Perspektif Teori Taxonomy Bloom)”, dalam M. Zainuddin, dkk. (eds.), Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Malang Press,

Megawangi Ratna, 2005Pendidikan Holistik. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.

Musfah Jejen, 2012. Pendidikan Holistik: Pendekatan LintasPerspektif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Najib Sulhan, 2006.Pembangunan Karakter Anak: Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif .Surabaya: Surabaya Intelektual Club,

Rubiyanto Nanik dan Dani Haryanto, 2010. Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah .Jakarta: Prestasi Pustaka.

Sudrajat Akhmad, Pendidikan Holistik, dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ 2008/01/26/pendidikan-holistik/, diakses 12 Oktober 2010.

Supratiknya A. 1993 (ed.), Psikologi Kepribadian 2: Teori-Teori Holistik (Organismik- Fenomenologis), Yogyakarta: Kanisius.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed. 3, Cet. 3



[1] Holistic memiliki arti; relating to holism and of concerned with or dealing with wholes or integrated system rather than with their parts. Noah Webster, Webster`s New Twentieth Century Dictionary of the English Language (Buenos Aires: William Collins Publisher Inc., 1980), hlm,643.
[2] Husain Heriyanto, Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), hlm, 12.
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), Ed. 3, Cet. 3, hlm. 406
[4] A. Supratiknya (ed.), Psikologi Kepribadian 2: Teori-Teori Holistik (Organismik-
Fenomenologis), (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 8-9.
[5] Akhmad Sudrajat, Pendidikan Holistik, dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
2008/01/26/pendidikan-holistik/, diakses 12 Oktober 2010.
[6] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1989), hlm. 107.
[7] Ratna Megawangi, Pendidikan Holistik (Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation, 2005), hlm, 6-7.
[8] Ibid., hlm 8.

[10] M. Latifah, Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah (Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen. Institut Pertanian Bogor, 2008), 7-9.
[11] Nanik Rubiyanto dan Dani Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010), 32.

[12] Jejen Musfah, Pendidikan Holistik: Pendekatan LintasPerspektif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 40
[13] Kemendiknas, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005 – 2009
(Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional) hlm, 74

[14] M. Latifah, Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah (Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen. Institut Pertanian Bogor, 2008), hlm, 43                                                                               
[15] Op.Cit Ratna Megawangi, Pendidikan Holistik, .....hlm. 34.
[16] M. Hadi Masruri, “Pendidikan menurut Ibnu Thufail (Perspektif Teori Taxonomy Bloom)”,
dalam M. Zainuddin, dkk. (eds.), Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer,
(Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 187-213.
[17] Ibid. Jujun, Pendidikan Holistik, 42.
[18]Najib Sulhan, Pembangunan Karakter Anak: Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif (Surabaya: Surabaya Intelektual Club, 2006), 17-21

[19] Nanik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2010), 42-43.

[20] Ibid, hlm, 41

BAB I
                                                     PENDAHULUAN
                                                                    
A.    Latar Belakang
Berbicara masalah pendidikan tak pernah lelah untuk dipublikasikan, karena dengan pendidikan itulah yang dapat membangun bangsa yang terpuruk dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Setiap orang wajib mengenyam pendidikan paling tidak pendidikan Sembilan tahun. Hal itu penting demi kepentingan dirinya, lingkungannya, terlebih-lebih untuk negaranya. Dikatakan demikian karena pada tahun 2020 akan terjadi globalisasi total. Untuk itulah setiap dari kita perlu mempersiapkan diri untuk perubahan tersebut.
Pendidikan tidak hanya ditekankan aspek kognitif saja, yang mana hanya mengandalkan kecerdasan otak kiri saja, tetapi perlu seimbang dengan aspek-aspek lainya, seperti afektif dan psikomotorik. Yang mana kesemuanya itu merupakan pendidikan yang terkait, tidak terkotak-kotak, yang terpadu dan menyeluruh (holistik).  
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Sebuah pembelajaran holistik hanya dapat dilakukan dengan baik apabila pembelajaran yang akan dilakukan bersifat alami, natural, nyata, dekat dengan diri anak, dan guru yang melaksanakannya memiliki pemahaman konsep pembelajaran terpadu dengan baik. Selain itu, juga dibutuhkan kreativitas dan bahan-bahan atau sumber yang kaya serta pengalaman guru dalam membuat model-model pembelajaran yang tematis sehingga terasa kebermaknaan dalam pembelajarannya.
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Pendidikan Holistik?
2.      Bagaimana Sejarah Pendidikan Holistik?
3.      Apa saja tujuan Pendidikan Holistik ?
4.      Apakah Urgensi Pendidikan Holistik?
5.      Bagaimana Karakteristik Paradigma Pendidikan Holistik? 
6.      Bagaimana Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan Holistik?
7.      Bagaiamana Aplikasi Pendidikan Holistik dalam proses pembelajaran ?
C.    Tujuan Pembahasan
1.         Mengetahui Pengertian Pendidikan Holistik
2.         Mengetahui BSejarah Pendidikan Holistik
3.         Mengetahui tujuan Pendidikan Holistik
4.         Mengetahui Urgensi Pendidikan Holistik
5.         Mengetahui Karakteristik Paradigma Pendidikan Holistik
6.         Mengetahui Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan Holistik
7.         Mengetahui Aplikasi Pendidikan Holistik dalam proses pembelajaran







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Holistik
Istilah holistik merupakan sebuah persitilahan yang berasal dari bahasa Inggris dari akar kata “whole” yang berarti keseluruhan.[1] Dengan pengambilan makna dasar seperti ini, menurut Husein Heriyanto[2] paradigma holistik dapat diartikan sebagai suatu cara pandang yang menyeluruh dalam mempersepsi realitas. Berpandangan holistik artinya lebih memandang aspek keseluruhan daripada bagian-bagian, bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, non-mekanik, dan non-linier.  Di samping itu, istilah holistik juga diambil dari kata dasar heal (penyembuhan) dan health (kesehatan). Secara etimologis memiliki akar kata yang sama dengan istilah whole (keseluruhan).
Kamus Besar Bahasa Indonesia membagi pengertian holistik menjadi dua macam. Pertama, sebagai sebuah paham, holistik adalah “cara pendekatan terhadap suatu masalah atau gejala, dengan memandang masalah atau gejala itu sebagai suatu kesatuan yang utuh.” Kedua, sebagai sebuah sifat, maka holistik “berhubungan dengan sistem keseluruhan sebagai suatu kesatuan lebih daripada sekadar kumpulan bagian.”[3]
Hall dan Lindzey, dalam Supratiknya, memberikan definisi holistik sebagai “semua teori yang menekankan pandangan bahwa manusia merupakan suatu organisme yang utuh atau padu dan bahwa tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan semata-mata berdasarkan aktivitas bagian-bagiannya”.[4]
Seperti dinyatakan oleh Akhmad Sudrajat sebagai berikut: Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang dan perdamaian.[5]
Definisi pendidikan holistik lainnya dikemukakan oleh para sarjana muslim pada Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam, yang menyatakan bahwa: Pendidikan harus bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan, dan indera. Karena itu, pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Muslim terletak dalam perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.[6]
            Hal ini mengindikasikan bahwa berpikir holistik berarti berpikir sehat. Dalam ranah pendidikan, pendidikan holistik merupakan suatu metode pendidikan yang membangun manusia secara keseluruhan dan utuh dengan mengembangkan semua potensi manusia yang mencakup potensi sosial-emosi, potensi intelektual, potensi moral atau karakter, kreatifitas, dan spiritual. Tujuan pendidikan holistik adalah untuk membentuk manusia holistik. Manusia holistik adalah manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya. Potensi yang ada dalam diri manusia meliputi potensi akademik, potensi fisik, potensi sosial, potensi kreatif, potensi emosi dan potensi spiritual.[7] Manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensinya merupakan manusia yang holistik, yaitu manusia pembelajar sejati yang selalu menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah system kehidupan yang luas, sehingga selalu ingin memberikan kontribusi positif kepada lingkungan hidupnya.[8]  Tujuan pendidikan di Indonesia yang tertuang pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 adalah untuk membentuk manusia yang holistik dan berkarakter.[9] Manusia holistik dan berkarakter merupakan social capital bagi perkembangan suatu bangsa. 
Dalam pelaksanaannya, pendidikan holistik berpijak pada tiga
prinsip, yaitu:[10]

  1. Connectedness
Connectedness adalah konsep interkoneksi yang berasal dari filosofi holisme yang kemudian berkembang menjadi konsep ekologi, fisika kuantum dan teori sistem.
  1. Wholeness
Keseluruhan (wholeness) bukan sekedar penjumlahan dari setiap bagiannya. Sistem wholeness bersifat dinamis sehingga tidak bias dideduksi hanya dengan mempelajari setiap komponennya.
  1. Being
Menjadi (being) adalah tentang merasakan sepenuhnya kekinian. Hal ini berkaitan dengan kedalaman jiwa, kebijaksanaan (wisdom), wawasan (insight), kejujuran, dan keotentikan.
Berdasarkan pengertian paradigma sebelumnya dan pengertian holistik di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma pendidikan holistic adalah cara memandang pendidikan yang menyeluruh bukan merupakan bagian-bagian yang parsial, terbatas, dan kaku. Pendidikan holistic menurut Jeremy Henzell-Thomas merupakan suatu upaya membangun secara utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran, yang mencakup spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya, estetika, emosi dan fisik yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut ke arah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan di dunia.


B.     Sejarah Pendidikan Holistik
Lahirnya pendidikan holistik sejatinya adalah merupakan suatu respon yang bijaksana atas ekologi, budaya, dan tantangan moral pada abad ini, yang bertujuan untuk mendorong para kaum muda sebagai generasi penerus untuk dapat hidup dengan bijaksana dan bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang saling pengertian dan secara berkelanjutan ikut serta berperan dalam pembangunan masyarakat. Persoalan ekologi, budaya, dan tantangan moral pada abad ini itu tentu tidak bisa dipisahkan dari persoalan dan kegagalan paradigma Cartesian- Newtonian dalam menjawab berbagai tantangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini serta berbagai problema krusial yang diakibatkannya.
Secara historis, paradigma pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru. Ada banyak tokoh klasik perintis pendidikan holistik, diantaranya: Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johan Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik, adalah Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.[11] Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistic sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Gerakan itu muncul sebagai akibat dari keprihatinan terhadap krisis ekologis, dampak nuklir, polusi kimia, dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya masyarakat tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional serta institusinya. Kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential.
Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3R’s, akronim dari relationship, responsibility, dan reverence. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3R’s ini lebih diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis dan berhitung).[12] Akhir-akhir ini gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Muncul konsep atau teori yang berbasis kuantum dalam dunia pendidikan yang akhir-akhir ini dikenal dengan istilah model quantum teaching and learning, axelerated learning, Integrated Learning, emotional intelegent, spiritual intelegent, dan sebagainya. Semua itu adalah merupakan konsekuensi dari upaya untuk menjawab dan ketidakpuasan dengan konsep dan teori-teori pendidikan yang berlandaskan paradigma Cartesian-Newtonian.
C.    Tujuan Pendidikan Holistik
Pendidikan seharusnya menjadi wahana strategis bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai.[13] Pendidikan holistik membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri. Dalam arti, para siswa dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya.
Oleh karena itu, upaya pendidikan holistic tidak lain adalah untuk membangun secara utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran, yang mencakup spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya, estetika, emosi dan fisik yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut ke arah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan di dunia.[14] Pada saat ini banyak model pendidikan yang berdasarkan pandangan abad ke 19 yang menekankan pada (belajar terkotak-kotak), linier thinking (bukan sistem) dan (fisik yang utama), yang membuat siswa sulit untuk memahami relevance dan value antara yang dipelajari disekolah dengan kehidupannya. Oleh karena itu, dibutuhkan system pendidikan yang terpusat pada anak yang dibangun berdasarkan asumsi connectedness, wholeness, dan being fully human.
Untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, maka kurikulum yang dirancang harus diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan manusia holistik. Termasuk di dalamnya membentuk anak menjadi pembelajar sejati, yang senantiasa berpikir holistik, bahwa segala sesuatu adalah saling terkait atau berhubungan. Beberapa pendekatan pembelajaran yang dianggap efektif untuk menjadikan manusia pembelajar sejati di antaranya adalah pendekatan siswa belajar aktif, pendekatan yang merangsang daya minat anak atau rasa keingintahuan anak, pendekatan belajar bersama dalam kelompok, kurikulum terintegrasi, dan lain-lain.[15]
D. Urgensi Pendidikan Holistik
Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat dalam hidup itu terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang handal dan berbudaya. Oleh karena itu perlu implementasi penyelenggaraan pendidikan holistik secara baik. Beberapa hal yang mendapat penekanan lebih dalam menerapkan model pendidikan karakter. Pertama, Knowing the good. Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal tersebut. Selama ini banyak orang yang tahu bahwa ini baik dan itu buruk, namun mereka tidak tahu apa alasannya melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik. Jadi masih ada gap antara knowing dan acting. Pendidikan holistik tidak membatasi pada tiga ranah Bloomian (yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik)  saja,  tetapi menuntut untuk memperhatikan seluruh kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual.
Istilah pendidikan holistik muncul dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam peraturan tersebut, holistik didefinisikan sebagai “cara memandang segala sesuatu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan bagian lain yang lebih luas.”23 Dengan diakomodirnya istilah holistik dalam Permendiknas, maka semakin menunjukkan betapa pentingnya konsep pendidikan holistik untuk  diterapkan dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia.
Pilihan pada paradigm pendidikan holistik ini tentu dapat dipandang sejalan dengan pandangan dunia pendidikan Islam.  Pandangan pendidikan Islam adalah:
1.      Manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, yang pada intinya adalah makhluk yang paling sempurna dan istemewa (fi> ah}sani  taqwi>m) yang sudah tentu tidak bisa disamakan dengan hewan dan makhluk lainnya. Dalam Surah al-Tien (95) : 4 dinyatakan:
 لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤
4. sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
              Bentuk yang sebaik-baiknya tersebut, menurut Ibnu Thufail, merupakan ketiga aspek fundamental dalam pendidikan, yaitu ranah kognitif (al-’aqliyyah), afektif (al-khuluqiyyah al-ruhaniyyah), maupun psikomotorik (al-’amaliyyah). Ketiganya merupakan syarat utama bagi tercapainya tujuan pendidikan yaitu mewujudkan manusia seutuhnya dengan memadukan pengetahuan alam melalui penelitian diskursif, dan pengetahuan agama yang berdasarkan wahyu melalui para Nabi dan Rasul, sehingga mewujudkan sosok yang mampu menyeimbangkan kehidupan vertikal dan kehidupan horizontal sekaligus.[16]
2.      Keunikan manusia itu ditandai dengan potensi yang dimiliki oleh manusia yang terdapat dalam dua dimensi, yaitu dimensi material (jasad) dan dimensi immaterial (nafs, `aql, qalb,  dan ruh}), sebagaimana firman Allah,
ذَٰلِكَ عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ ٱلۡعَزِيزُ ٱلرَّحِيمُ ٦ ٱلَّذِيٓ أَحۡسَنَ كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَٰنِ مِن طِينٖ ٧ ثُمَّ جَعَلَ نَسۡلَهُۥ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن مَّآءٖ مَّهِينٖ ٨ ثُمَّ سَوَّىٰهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِۦۖ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفۡ‍ِٔدَةَۚ قَلِيلٗا مَّا تَشۡكُرُونَ ٩ [سورة السجدة,٦-٩]
6. Yang demikian itu ialah Tuhan Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang
7. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah
8. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina
9. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur
[As Sajdah,6-9]
3.      Manusia diciptakan (mempunyai fitrah), sebagaimana dalam al- Qur’an;
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠ [سورة الروم,٣٠]
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
[Ar Rum30]
Dalam mengembangkan potensi fitrah itu, manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Sebagaimana juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh al- Bukhari dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw. bersabda,

 Setiap anak manusia dilahirkan atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya, Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)

4.      Manusia di samping memliki keunggulan sekaligus juga memiliki kelemahan-kelemahan, sebagaimana dalam al-Qur’an,
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا ٢٨ [سورة النساء,٢٨]
28. Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah
[An Nisa"28]
Berdasarkan kondisi manusia itulah, maka pendidikan berperan menguatkan atau mendidik segenap potensi yang dimiliki (secara holistik) (keunggulan) manusia sampai ia mampu mendidik dirinya sendiri (dewasa/mukallaf) sehingga penyelewengan dari fitrahnya akibat keterbatasan/kelemahannya itu dapat dihindari. Arah pendidikan holistik ini juga sejalan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Bab II pasal 3 yang secara tegas dinyatakan bahwa pendidikan di Indonesia: “...berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak … serta bertanggung jawab”. Pada bagian lain dinyatakan bahwa:
a)      Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
b)      Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna.
c)      Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Dari berbagai gambaran tentang kondisi dan berbagai persoalan yang dihadapi oleh paradigm Cartesian-Newtonian dewasa ini serta berbagai kondisi dan tuntutan saat ini, khususnya di dunia pendidikan, maka kehadiran dan pilihan pada paradigma holistik adalah merupakan sebuah keniscayaan.
E.  Karakteristik Paradigma Pendidikan Holistik 
Belajar hakekatnya adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang, perubahan sabagai hasil dari proses belajar dapat diindikasikan dalam bebagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, kecakapan, keterampilan dan kemampuan serta perubahan aspek-aspek yang lain yang ada pada individu yang belajar.
Seperti yang dikemukakan oleh George J. Mouly dalam bukunya bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku seseoran berkat adanya pengalaman. Pendapat senada disampaikan oleh kimble dan Garmezi yang menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang relative permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Sedangkan Garry dan Kingsley menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang orisinal melalui pengalaman dan latihan-latihan.
Dengan demikian, inti dari belajar adalah adanya perubahan tingkah laku karena adannya suatu pengalaman. Perubahan tingkah laku tersebut dapat berupa perubahan keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan, pemahaman dan apresiasi. Adapun pengalaman dalam proses belajar ialah bentuk interaksi antara individu dengan lingkungan.
Berlakunya kurikulum 2004 yang bebasis kompetensi yang menjadi roh bagi berlakunya kurikulum 2006 KTSP menuntut perubahan paradigm dalam pendidikan dan pembelajaran, khususnya di lembaga pendidikan formal. Perubahan tersebut harus puladiikuti oleh guru yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pembelajaran di sekolah (di dalam kelas ataupun di luar kelas).
Salah satu perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih berpusat pada murid (student centered); me­todologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori; dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun basil pendidikan.
Satu inovasi yang menarik mengiringi perubahan paradigma tersebut adalah ditemukan dan diterapkannya model Pembelajaran- Holistik. Inovasi yang bermula dari suatu pandangan pilosofis esensialisme, kemudian berkembang pada berbagai mata pe­lajaran atau bidang studi. Apa sesungguhnya praktik belajar ini? Praktik belajar diartikan sebagai,suatu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori/kon­sep-konsep melalui pengalaman belajar praktik-empiris. Dalam konteks yang lebih luas, Oleh karma dalam model pembelajaran ini basil akhirnya adalah assessment (penilaian) yang bersifat komprehensif, baik dari segi proses maupun produk pada semua aspek pembelajaran, yaitu aspek kognitif, afektif, maupun psiko­mototrik.
Karena dari sudut pandang filosofis pendidikan holistik adalah merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Dalam konteks ini, meminjam formulasi Heriyanto, setidaknya ada dua karateristik pendidikan holistik yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, paradigma pendidikan holistik berkaitan dengan pandangan antropologisnya bahwa subjek merupakan pengertian yang berkorelasi dengan subjek-subjek lain. Makna subjek dalam paradigma ini jauh berbeda dengan paradigma modern Cartesian- Newtonian, yaitu tidak terisolasi, tidak tertutup dan tidak terkungkung, melainkan berinterkoneksi dengan pengada-pengada lain di alam raya. Kedua, paradigma pendidikan holistik juga berkarakter realispluralis, kritis-konstruktif, dan sintesis-dialogis. Pandangan holistik tidak mengambil pola pikir dikotomis atau binary logic yang memaksa harus memilih salah satu dan membuang yang lainnya, melainkan dapat menerima realitas secara plural sebagaimana kekayaan realitas itu sendiri.
Dalam konteks ini sistem pendidikan dibangun terpusat pada anak berdasarkan asumsi connectedness, wholeness dan being fully human. Pendidikan holistik sangat menafikan adanya dikotomi dalam berbagai bentuknya, seperti dikotomi dunia-akhirat, ilmu umumagama/ ilmu shar’iyyah-ghairu shar’iyyah, akal-fisik, dan lain-lain.
Keduanya harus ada dan diperhatikan serta dibangun dalam relasi yang tidak terputus. Pendidikan holistik membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya. Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow,[17] maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya kesadaran, kejujuran, kebebasan atau kemandirian, dan kepercayaan.
Dalam konteks ini, Howard Gardner menyebutkan ada sembilan kecerdasan bagi siswa yang harus dikembangkan dan mendapat perhatian khusus, yaitu: [18]
1.         Kecerdasan linguistik kecerdasan untuk membaca, menulis, bercerita, bermain kata dan menjelaskan. Pembentukan ini agar anak kelak berkemampuan dalam bidang pemberitaan, jurnalistik, berpidato, debat, percakapan dan lain-lain.
2.         Kecerdasan logis atau matematis yaitu kecerdasan dalam bereksperimen, bertanya, memecahkan teka-teki dan berhitung. Pembentukan ini diarahkan agar anak berhasil dalam bidang matematika, akutansi, program komputer, perbankan dan lain-lain.
3.         Kecerdasan spatial atau visual yaitu kecerdasan dalam mendisain, menggambar, membuat sketsa, menvisualisasikan. Pembentukan kecerdasan ini agar anak memiliki kemampuan yang baik antara lain membuat peta, fotografi, melukis, desain rencang bangun dan lainlain.
4.         Kecerdasan body atau kenestetik yaitu kecerdasan untuk menari, berlari, membangun, menyentuh, bergerak dan kegiatan fisik lainnya. Pembinaan kecerdasan ini agar anak cemerlang dalam olah raga, senitari, seni pahat, dan sebagainya.
5.         Kecerdasan musikal adalah kecerdasan untuk menyanyi, bersiul, bersenandung, menghentak-hentakkan kaki atau tangan, mendengar bunyi-bunyian. Pembinaan kecerdasan ini diarahkan agar anak mempunyai kecenderungan ini akan sukses dalam bernyanyi, menggubah lagu, memainkan alat musik dan lain-lain.
6.         Kecerdasan interpersonal yaitu kecerdasan untuk memimpin, mengatur, menghubungkan, bekerja sama, berpesta dll. Pembinaan kecerdasan ini agar anak berhasil dalam pekerjaan seperti guru, pekerja sosial, pemimpin kelompok, organisasi, politik.
7.         Kecerdasan intrapersonal yaitu kecerdasan untuk suka mengkhayal, berdiam diri, merencanakan, menetapkan tujuan, refleksi. Pembinaan kecerdasan ini agar anak cemerlang dalam filsafat, menulis penelitian dan sebagainya.
8.         Kecerdasan natural yaitu kecerdasan untuk suka berjalan, berkemah, berhubungan dengan alam terbuka, tumbuh-tumbuhan, hewan. Pembinaan kecerdasan ini agar anak dapat menguasai dan menyenangi dengan baik bidang botani, lingkungan hidup, kedokteran dan lainlain.
9.         Kecerdasan eksistensialis yaitu kecerdasan untuk suka berfilsafat, suka agama, kebudayaan dan isu-isu sosial. Pada umumnya mereka berhasil dalam bidang keagamaan dan psikologi.
F.   Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan Holistik
Pendidikan model holistik sangat menekankan pendekatan pendidikan yang sangat manusiawi dan utuh. Model ini tidak sepihak atau tidak sepotong-sepotong; dari aspek otaknya saja, fisiknya saja, atau dari kerohaniannya saja, karena segala aspek fisik maupun kejiwaan saling berkaitan dan melengkapi. Dalam implementasinya, spiritualitas dapat dipadukan secara sinergis dengan religiusitas secara holistik tanpa perlu mereduksi universalitas dan transendensi dari spiritualitas itu sendiri.
      Ciri-ciri kurikulum dari pendidikan holistik adalah sebagai berikut: [19]
1.      Pembelajaran diarahkan agar siswa menyadari akan keunikan dirinya dengan segala potensinya. Mereka harus diajak untuk berhubungan dengan dirinya yang paling dalam (inner self), sehingga memahami eksistensi, otoritas, tapi sekaligus bergantung sepenuhnya kepada pencipta-Nya.
2.      Pembelajaran tidak hanya mengembangkan cara berpikir analitis/linier tapi juga intuitif.
3.      Pembelajaran berkewajiban menumbuh-kembangkan potensi kecerdasan jamak (multiple intelligences).
4.      Pembelajaran berkewajiban menyadarkan siswa tentang keterkaitannya dengan komunitasnya, sehingga mereka tak boleh mengabaikan tradisi, budaya, kerjasama, hubungan manusiawi, serta pemenuhan kebutuhan yang tepat guna (jawa: nrimo ing pandum; anti konsumerisme).
5.      Pembelajaran berkewajiban mengajak siswa untuk menyadari hubungannya dengan bumi dan "masyarakat" non manusia seperti hewan, tumbuhan, dan benda benda tak bernyawa (air, udara, tanah) sehingga mereka memiliki kesadaran ekologis.
6.      Kurikulum berkewajiban memperhatikan hubungan antara berbagai pokok bahasan dalam tingkatan trans-disipliner, sehingga hal itu akan lebih memberi makna kepada siswa.
7.      Pembelajaran berkewajiban menghantarkan siswa untuk menyeimbangkan antara belajar individual dengan kelompok (kooperatif, kolaboratif, antara isi dengan proses, antara pengetahuan dengan imajinasi, antara rasional dengan intuisi, antara kuantitatif dengan kualitatif.
8.      Pembelajaran adalah sesuatu yang tumbuh, menemukan, dan memperluas cakrawala.
9.      Pembelajaran adalah sebuah proses kreatif dan artistik.

Berdasarkan paparan di atas, maka model pembelajaran Holistik mendasarkan diri (self oriented) pada kecenderu­ngan pemikiran tentang belajar sebagai berikut:
a)            Proses Belajar
                           (1)      Belajar tidak hanya sekadar menghafal. Siswa harus meng­onstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri sendiri.
                           (2)      Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola­-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
                           (3)      Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki se­seorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan.
                           (4)      Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-­fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
                           (5)      Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam me­nyikapi situasi baru.
                           (6)      Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
                           (7)      Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiiring dengan perkembang­an organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang.
b)           Transfer Belajar
                           (1)      Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pembe­rian orang lain.
                           (2)       Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit).
                           (3)      Penting bagi siswa untuk tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.


c)            Siswa scbagai Pembelajar
                                             (1)            Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecende­runpn untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
                                             (2)            Strategi belajar itu pcnting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
                                             (3)            Peran orang dewasa berperan membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui.
                                             (4)            Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
d)           Pentingnya lingkungan belajar.
Belajar efektif itu dimualai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa.
                                             (1)            Pengajaran harus berpusat pada bagaimana siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih penting daripada hasilnya.
                                             (2)            Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar.
                                             (3)            Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
                                             (4)            Media pembelajaran harus dirangcang dan dikembangkan untuk memberikan lingkungan yang interaktif, memotivasi dan menyenangkan.
Bersarkan kerangka konseptual tersebut, ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah dan menyentuh dimensi fisik, kognitif dan jiwa, mental dan emosional anak. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi (Rote Learning) terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
Model-model pembelajaran holistik merupakan konsep belajar yang membantu guru untuk mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya denga penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil.
Untuk memabvntu siswa mamahami konsep-konsep dan memudahkan guru dalam mengajarkan konsep-konsep tersebut diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang langsung mengaitkan materi konteks pelajaran dengan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif. Oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar.
G.    Aplikasi Pendidikan holistik dalam proses pembelajaran
Pendidikan holistik dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran dengan menerapkan Integrated Learning atau pembelajaran terintergrasi/terpadu, yaitu suatu pembelajaranyang memadukan berbagai materi dalam satu sajian pembelajaran. Inti pembelajaran ini adalah agar siswa memahami keterkaitan antara satu materi dengan materi lainnya, antara saru mata pelajaran dengan mata pelajaran lain. Dari integrated learning inilah muncul istilah integrated curriculum (kurikulum terintegrasi/terpadu). Karakteristik kurikulum terintegrasi menurut Lake dalam Megawangi,[20] antara lain; adanya keterkaitan antar mata pelajaran dengan tema sebagai pusat keterkaitan, menekankan pada aktivitas kongkret atau nyata, memberikan peluang bagi siswa untuk bekerja dalam kelompok. Selain memberikan pengalaman untuk memandang sesuatu dalam perspektif keseluruhan, juga memberikan motivasi kepada siswa untuk bertanya dan mengetahui lebih lanjut mengenai materi yang dipelajarinya. Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar melihat keterkaitan antar mata pelajaran dalam hubungan yang berarti dan kontekstual bagi kehidupan nyata.
Integrated curriculum atau sering dikenal dengan istilah interdisciplinary teaching, thematically teaching dan synergetic teaching member kesempatan kepada siswa untuk belajar melihat keterkaitan antar mata pelajaran dalam hubungan yang berarti dan kontekstual bagi kehidupan nyata. Sebagai contoh terdapat dalam kurikulum dengan tema kendaraan yang memiliki keterjalaan sebagai berikut :



















            Kurikulum terintegrasi dalam pendidikan holistik juga membuat siswa belajar sesuai dengan gambaran yang sesungguhnya, hal ini karena kurikulum terintegrasi mengajarkan keterkaitan akan segala sesuatu sehingga terbiasa memandang segala sesuatu dalam gambaran yang utuh. Kurikulum terintegrasi dapat memberikan peluang kepada siswa untuk menarik kesimpulan dari berbagai sumber infomasi berbeda mengenai suatu tema, serta dapat memecahkan masalah dengan memperhatikan faktor- faktor berbeda (ditinjau dari berbagai aspek). Selain itu dengan kurikulum terintegrasi, proses belajar menjadi relevan dan kontekstual sehingga berarti bagi siswa dan membuat siswa dapat berpartsipasi aktif sehingga seluruh dimensi manusia terlibat aktif (fisik, social, emosi, akademik).



DAFTAR PUSTAKA




(ON LINE) http://www.masdayat.web.id/2009/02/aplikasi-pendidikan-holistik-dalam.html Diakses Selasa 10 Mei 2016 pukul 8.48

Ashraf Ali, 1989. Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, (Jakarta: Pustaka Firdaus.

Heriyanto Husain, 2003. Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Bandung: Mizan Media Utama.

Kemendiknas, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005 – 2009.Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Latifah M., 2008. Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor.

M. Hadi Masruri, 2009 “Pendidikan menurut Ibnu Thufail (Perspektif Teori Taxonomy Bloom)”, dalam M. Zainuddin, dkk. (eds.), Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Malang Press,

Megawangi Ratna, 2005Pendidikan Holistik. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.

Musfah Jejen, 2012. Pendidikan Holistik: Pendekatan LintasPerspektif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Najib Sulhan, 2006.Pembangunan Karakter Anak: Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif .Surabaya: Surabaya Intelektual Club,

Rubiyanto Nanik dan Dani Haryanto, 2010. Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah .Jakarta: Prestasi Pustaka.

Sudrajat Akhmad, Pendidikan Holistik, dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ 2008/01/26/pendidikan-holistik/, diakses 12 Oktober 2010.

Supratiknya A. 1993 (ed.), Psikologi Kepribadian 2: Teori-Teori Holistik (Organismik- Fenomenologis), Yogyakarta: Kanisius.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed. 3, Cet. 3



[1] Holistic memiliki arti; relating to holism and of concerned with or dealing with wholes or integrated system rather than with their parts. Noah Webster, Webster`s New Twentieth Century Dictionary of the English Language (Buenos Aires: William Collins Publisher Inc., 1980), hlm,643.
[2] Husain Heriyanto, Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), hlm, 12.
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), Ed. 3, Cet. 3, hlm. 406
[4] A. Supratiknya (ed.), Psikologi Kepribadian 2: Teori-Teori Holistik (Organismik-
Fenomenologis), (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 8-9.
[5] Akhmad Sudrajat, Pendidikan Holistik, dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
2008/01/26/pendidikan-holistik/, diakses 12 Oktober 2010.
[6] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1989), hlm. 107.
[7] Ratna Megawangi, Pendidikan Holistik (Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation, 2005), hlm, 6-7.
[8] Ibid., hlm 8.

[10] M. Latifah, Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah (Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen. Institut Pertanian Bogor, 2008), 7-9.
[11] Nanik Rubiyanto dan Dani Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010), 32.

[12] Jejen Musfah, Pendidikan Holistik: Pendekatan LintasPerspektif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 40
[13] Kemendiknas, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005 – 2009
(Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional) hlm, 74

[14] M. Latifah, Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah (Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen. Institut Pertanian Bogor, 2008), hlm, 43                                                                               
[15] Op.Cit Ratna Megawangi, Pendidikan Holistik, .....hlm. 34.
[16] M. Hadi Masruri, “Pendidikan menurut Ibnu Thufail (Perspektif Teori Taxonomy Bloom)”,
dalam M. Zainuddin, dkk. (eds.), Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer,
(Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 187-213.
[17] Ibid. Jujun, Pendidikan Holistik, 42.
[18]Najib Sulhan, Pembangunan Karakter Anak: Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif (Surabaya: Surabaya Intelektual Club, 2006), 17-21

[19] Nanik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2010), 42-43.

[20] Ibid, hlm, 41

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM PERNIKAHAN LINTAS AGAMA

Makna Hadis tentang "Setiap Anak Terlahir Dalam Keadaan Fitrah"

BERBAGI PERAN