SEKSISME DALAM CERMIN BUDAYA INDONESIA DAN MEDIA MASSA





Oleh 

Amalia Utami,S.Pd
Gender dan Seks
Gender merupakan Interpretasi mental dan kultural yang ditujukan pada perempuan dan laki-laki berdasarkan jenis kelamin. Lips mengatakan bahwa “gender” sebagai culture expectations for women and men atau diartikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap seorang perempuan dan laki-laki. Sedang menurut kemendagri no.132 disebutkan bahwa gender merupakan konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab seorang laki-laki dan perempuan, yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat setempat.[1] Artinya gender merupakan hasil bentukan dan konstruksi masyarakat yang sifatnya bisa berubah berdasarkan lingkungan dimana perempuan dan laki-laki tersebut tinggal, sehingga gender bisa disebut dengan jenis kelamin sosial.
Seks, merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia, yang dilihat dari sudut pandang biologis, dengan  melihat tanda-tanda yang bersifat universal dan permanen, sehingga tidak dapat dipertukarkan, dan dapat dikenali semenjak manusia lahir. Atau yang biasa kita sebut sebagai kodrat.[2] Dari hal tersebut kemudian melahirkan istilah identitas jenis kelamin.
Berangkat dari kedua pembahasan diatas, pada dasarnya pembagian peran gender tidak akan menjadi sesuatu masalah dan bahan perdebatan, selama tidak menimbulkan ketidak adilan pada salah satu jenis kelamin. Namun fakta dimasyarakat masih banyak terjadi bias gender dalam pembagian peran tersebut. Salah satu yang menjadi pemicunya adalah budaya patriarki[3] dan matriarki[4] sudah mengakar dimasyarakat, sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dari pihak perempuan maupun laki-laki. Adanya stigma masyarakat terhadap jenis kelamin laki-laki dan perempuan, stigma bahwa seorang perempuan adalah makhluk yang lemah, penakut, cerewet, emosional, dan kurang bisa bertanggung jawab, serta laki-laki yang dianggap kuat, keras, kasar, rasional, egois, adalah berbagai stigma yang dapat merugikan keduanya.  Padahal tidak sedikit seorang laki-laki yang juga mempunyai sifat lembut, dan perempuan yang bersifat tegas, serta banyak juga kaum laki-laki yang hoby memasak.
Stigma yang melekat pada perempuan dan laki-laki tersebut yang kemudian mempengaruhi peran perempuan dan laki-laki ditengah masyarakat, yang melatarbelakangi munculnya gerakan sosial perempuan yang dikenal dengan feminisme yang dipelopori oleh betty Friedan tahun 1960, yaitu sebuah kesadaran bahwa perempuan mengalami ketertindasan dan berusaha menolong perempuan agar mendapat hak-haknya, dengan  membawa misi untuk mengatasi dan merubah kesenjangan status, peran dan tanggung jawab yang seolah-olah dianggap mendeskriminasi perempuan.[5]
Seksisme dalam kacamata Budaya Indonesia dan Media Massa
Seksisme (sexism), adalah sebuah prasangka atau prejudice: sikap negatif suatu kelompok atau individu terhadap seseorang yang disebabkan oleh keanggotaan orang tersebut dalam kelompok tertentu atau diskriminasi kepada kelompok lain hanya karena perbedaan gender atau jenis kelamin. Dalam seksisme ini, biasanya wanita cenderung dianggap lemah, dan tindakan seksisme, bisa juga bersumber dari stereotipe[6] terhadap peran gender dan melegitimasi bahwa hanya jenis kelamin tertentu yang  memiliki posisi yang lebih baik dan superior dibanding yang lainnya.[7]
Istilah seksismen dikenal secara luas saat terjadi gerakan pembebaasan perempuan (women’ts Liberation Movement) pada tahun 1960.  Bermula dari kaum feminis menyebutkan bahwa tekanan terhadap perempuan telah menyebar dan terjadi dihampir seluruh lapisan masyarakat, sehingga mereka mulai bersuara lebih lantang tentang faham seksisme, dari pada  faham male chauvinism[8]. Paham male chauvinism ini biasanya adalah laki-laki yang meyakini bahwa merel lebih hebat dari pada perempuan. [9]
Seksisme ini bisa menjadi sebuah perbuatan diskriminasi, karena seksisme ini biasanya diekspresikan melalui tindakan, perkataan, maupun hanya berbentuk suatu keyakinan /suatu kepercayaan. Suatu ujaran dapat dianggap seksis apabila  penggunaannya mendorong atau mengisyaratkan adanya penekanan terhadap perempuan dan menunjukkan adanya eksploitasi terhadap jenis kelamin tertentu. [10]Bahkan sesksisme ini terkadang terjadi tanpa disadari oleh pelaku, misalnya pada tahun 2011, The Smithsonian American Art Museum, melaporkan hasil survey tentang karya seni di Amerika yang menunjukkan bahwa terdapat 5.193 patung diruang publuk, dimana sejumlah 394 dari patung tersebut adalah menunjukkan pada gender perempuan.[11]
Seksisme tidak hanya bentuk kebencian terhadap satu jenis kelamin, tetapi juga bisa merujuk pada semua bentuk diferensiasi pada seks individu. Umumnya dituangkan dalam bentuk sikap, seperti : Kepercayaan satu jenis kelamin/gender lebih berharga dari yang lain, Chauvinism pria atau wanita , Sifat misogini[12] atau misandria[13], ketidakpercayaan kepada orang yang memiliki jenis gender yang berbeda. Bahkan yang lebih ekstrim pelaku seksisme ini bisa melampiaskan dalam bentuk kekerasan seksual, pemerkosaan, dan berbagai bentuk pelecehan seksual lainnya.
Berikut perilaku sesksisme yang dituangkan dalam bentuk pernyataan ide, atau sebuah kepercayaan :
Bentuk Seksisme dalam kajian ilmu psikologi klasik
Berikut ini kutipan dari para psikolog laki-laki, yang cenderung juga telah menyiratkan pelecehan terhadap kaum perempuan.:
“Kita harus mulai menyadari bahwa meski banyak perempuan yang ingin menjadi insinyur atau ilmuwan yang baik, mereka tetaplah seorang ibu dan teman perempuan dari kaum laki-laki. (Bruno Bettelheim, 1965, dikutip dalam Weisstein, 1992, hlm. 61)”
“Keinginan untuk disandera oleh seorang laki-laki yang kejam guna melampiaskan hasrat seksualnya merupakan keinginan yang universal dari kaum perempuan. (Storr, 1968)”
Bantuk Seksisme dalam Iklan media Massa
Dalam sebuah iklan ditayangkan ada seorang perempuan yang tenggelam dan diselamatkan oleh seorang laki-laki “jantan”. Dalam gambar, tampak seorang perempuan dengan menonjolkan anggota tubuhnya yang dianggap menarik sementara simbol kejantanan seorang laki-laki diperlihatkan saat dia meminum salah satu produk minuman berenergi”
Keberadaan perempuan dalam media massa menjadi sebuah dilema, karena media massa bisa menjadi alat aktualisasi diri bagi perempuan, tapi disisi lain justru bisa menjadi “godaan” tersendiri bagi perempuan untuk memperkaya diri dengan kcenderungan mengeksploitasi dirinya sendiri. Tawaran iklan produk-produk kecantikan, misalnya produk peramping badan dan beberapa produk iklan kecantikan yang menunjukkan ketakutan perempuan tidak menarik di depan lawan jenisnya, menjadikan perempuan sebagai obyek sasaran pasar, dan rentan terhadap budaya konsumtif.  Akhirnya tercipta dalam benak masyarakat bahwa yang mampu dijual oleh perempuan adalah seputar  fisiknya, bukan dari kapasitas intelektualnya.
Bentuk seksisme dalam lirik lagu Indonesia
“Lirik lagu Jamrud sangat seksis dan berisi tentang stereotipe negatif perempuan dalam hubungan percintaan dengan lawan jenis. Salah satu lagu Jamrud yang seksis terdapat dalam album NINGRAT yang berjudul ‘Telat 3 Bulan’.[14] Dan lagu jamrud dalam album yang sama dengan judul “Surti-Tejo”.[15] Lirik lagu tersebut mendapat sensor oleh sejumlah lembaga keagamaan dan unit kegiatan mahasiswa (Kurniasari 2003:5). Ada beberapa lagu yang beredar di masyarakat indonesia yang secara tidak sadar sudah mengandung unsur seksis, didalam lirik lagunya misalnya lagu Cinta Satu Malam, Hamil Duluan, Kebelet, Wanita Lubang Buaya  dll.
Stigma yang dilabelkan pada perempuan keglamoran dan keseksian perempuan adalah sosok yang tidak begitu saja dilepaskan dari media massa, hal tersebut yang membuat muncul ide seksis melekat pada perempuan dalam media massa, baik media elektronik ataupun media cetak. Dilain pihak, kaum laki-laki sering digambarkan pada sosok pekerja kantoran, yang selalu punya ambisi, agresifitas, dan kepercayaan diri yang tinggi, sangat berlawanan dengan perempuan. Laki-laki selalu cenderung menjadi sebuah subjek, sedangkan perempuan sebagai objek pemuas dari laki-laki. Tubuh perempuan dalam media massa seolah bukan sebuah realitas dirinya, melainkan realitas yang dibuat oleh orang lain, bukan lagi dari fakta biologi, melainkan fakta sosial yang telah dibentuk oleh masyarakat.
Media massa seolah menjadi alat perantara ajaib, yang dalam sekejab mampu merubah opini masyarakat luas. Menjadi alat yang digandrungi oleh berbagai pihak pemangku pentingan, baik kepentingan politik, bisnis, ekonomi,bahkan industry musik, karena media massa mampu menjadi alat hegemoni masyarakat. gambaran perempuan ideal dalam media massa seakan diseting berdasarkan tujuan produk-produk kecantikan. Tidak hanya menjadikan perempuan sebagai komoditas, namun juga memotren perempuan dalam gaya yang tidak senonoh dan sikap penurutnya.  
Terselaps dari perbedaan pandangan tentang fenomena seksisme ini, solusi sejak dini bisa kita terapkan, yaitu perlunya mengubah cara pandang, sikap, dan perilaku, agar hati dan juga pikiran mampu bekerja sama untuk mencegah perilaku seksisme.  Seksisme dalam masyarakat juga harus dilawan, hal tersebut bisa dilakukan secara individu ataupun secara kolektif, dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat, bisa memanfaatkan sosial media yang dianggap jitu dalam menyebarkan informasi. Karena Bisa jadi perilaku seksisme muncul bukan karena disengaja, tetapi karena ketidaktahuan masyarakaht terhadap perilaku seksisme.






[1] Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN Malang Press, 2008), 1–2.
[2] Ibid., 3.
[3] cenderung selalu mengunggulkan laki-laki
[4] cenderung mengunggulkan perempuan
[5] Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, 17.
[6] Kepercayaan tentang atribut pribadi sekelompok orang yang terkadang dibesar-besarkan, tidak akurat, atau berupa perlawanan terhadap ide-ide baru, faham ini cenderung mengasosiasikan sekelompok orang dengan ciri-ciri/sifat tertentu.
[7] Nadiatus Salama, “Seksisme Dalam Sains,” Sawwa Vol 8, Nomor 2, (April 2013): 312.
[8] Istilah male chauvinist ini baru lahir kira-kira pada tahun 60an untuk menggambarkan pria yang menganggap wanita lebih inferior daripada laki-laki,sehingga semua sikap, perkataan, perbuatannya ’merendahkan’ kaum wanita. Kata chauvinisme sendiri sebelumnya dipakai untuk menggambarkan rasa nasionalisme yang sempit, dan diambil dari nama Nicolas Chauvin
[9] Salama, “Seksisme Dalam Sains,” 312.
[10]I Made Netra, “Perilaku Seksis Dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam Humor Di Kota Denpasar Kajian Bahasa Dan Jender,” Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume V No. 1 (April 2009): 3.
[11] Salama, “Seksisme Dalam Sains,” 312.
[12] Kebencian terhadap wanita
[13] Kebencian terhadap laki-laki
[14] Netty Dyah Kurniasari, “Seksisme Dan Seksualitas Dalam Lagu Pop: Analisis Tekstual Lirik Lagu Kelompok Musik Jamrud,” Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik Vol. 25, Nomor 2 (n.d.): 3.
[15] Netty Dyah Kurniasari, “Seksisme Dan Seksualitas Dalam Lagu Pop (Kajian Terhadap Lirik Lagu ‘Surti-Tejo’ Menggunakan Analisis Tekstual),” Pamator, Vol. 4, No. 1 (April 2011): 4.

Postingan populer dari blog ini

HUKUM PERNIKAHAN LINTAS AGAMA

Makna Hadis tentang "Setiap Anak Terlahir Dalam Keadaan Fitrah"

BERBAGI PERAN